MOM BLOGGER

A Journal Of Life

Aku (pernah jadi) Anak ROHIS

Kamis, 05 November 2015

Siapa yang hidup dijaman 2000an yang umur nya masih remaja belia mempesona waktu itu cuuuuuung.... hehehe
Tahun 2000 awal menurut saya tahun menggeliat nya dakwah. Mulai dari siswa SMP, SMA dan tentunya mahasiswa. Pada saat itu semua tampak berbondong-bondong menjadi aktivis dakwah. Kalo dulu itu istilahnya anak Rohis, singkatan dari Kerohanian Islam.
Eh, saya jadi ingat lagu khas anak Rohis jadinya. Begini bunyinya ...

•••••••••• Aku anak rohis                     
Selalu optimis                          
Bukannya sok narsis          
Kami memang manis  •••••••••••••

Dan masih banyak gubahan-gubahan lirik lainnya dengan irama sama. Ah saya memang lagi rindu masa-masa itu. Huwo huwoooo (mewek).

Pada masa itu, ada satu kata yang bagi saya sangat sakral, HIDAYAH. Kenapa? Karena saya sangat takut ketika hidayah sudah datang pada saya, saya tidak mampu mengenalnya. Pikiran ini menggelayuti diri saya semenjak awal memperoleh materi tentang 'Menjemput Hidayah'. Ada sebuah konsep yang ditekankan bahwa hidayah itu ada karena dijemput. Bukan karena datang dengan sendirinya. Dan pada masa itu, menurut saya, hidayah bisa saya jemput dengan konsisten berada di tengah-tengah lingkungan yang telah memberi saya pencerahan awal tentang hidayah, yaitu Rohis.

Waktu berjalan begitu cepat. Sekarang saya baru tersadar, nyaris 10 tahun saya bersama kumpulan orang-orang yang melingkar. Ada hal yang saya rasakan berbeda. Ada nilai yang saya rasa samar dan perlahan pudar. Ah mungkin hanya saya saja yang merasakannya, tepis pikiran saya.

10 tahun tentunya bukan waktu yang sebentar. Dalam kurun waktu inilah saya menjadi saksi perjalanan saya sendiri dan generasi angkatan saya. Menyaksikan perlahan penggerak dakwah yang mulai berguguran. Memilih tak lagi melingkar karena berbagai macam pertimbangan dan faktor. Penggerak dakwah yang dulunya menjadi pioneer garda dakwah terdepan namun saat ini memilih menjadi 'orang biasa' menjalani hidup tanpa visi misi dakwah.

Saya, perjalanan saya memang bukanlah hal yang luar biasa. Saya hanyalah anak sekolahan yang sangat senang dengan pribadi-pribadi anak Rohis. Di kampus saya mulai diberi amanah tak sekedar pembuat acara keputrian dan penampung titipan saudara agar dijadikan bidikan dakwah saja melainkan ada hal lebih. Kejenuhan tentunya hal yang sangat akrab. Lelah? Manusiawi. Bosan? Wajar.

Rasa-rasa negatif itu kemudian seperti memberi kekuatan pada saya untuk sekedar 'menyicip' sedikit kehidupan diluar jalan ini. Saya berfikir, saya harus melihat hal lain. Hal yang tak semuanya hijau sejuk dipandang dan membuat saya nyaman. Saya beranggapan bahwa saya akan kuat untuk kemudian keluar sejenak dari jalur dakwah ini demi memperoleh rasa penasaran saya. Namun ternyata saya keliru. Jangankan kuat bertahan ditengah heterogenitas, saya malah sempat mengikuti arah yang tak lagi sejalur dengan jalan dakwah. Seperti apa? Ah tak usah dibahas.

Memang urusan hidayah itu hanya Allah yang punya hak. Istiqomah ataupun tidak, juga cukup menjadi urusan Allah. Saya berfikir bahwa setiap manusia punya jalannya sendiri untuk menjemput hidayah. Dan setiap orang juga punya jalannya sendiri untuk meraih istiqomahnya.

Dulu, saya berfikir, sesuatu yang baik yang dianugrahkan Allah ke saya akan senantiasa seperti itu. Ternyata saya keliru. Ibaratkan siswa berprestasi, perlu usaha khusus oleh siswa itu agar bisa 'istiqomah' mempertahankan prestasinya. Syukur-syukur bisa meningkatkan prestasinya.

Saya menuliskan tulisan ini sebagai salah satu hasil renungan saya, Allah melangkah seribu langkah ketika kita hanya melangkah selangkah itu saat ini baru benar2 saya rasakan. Sebebal apapun hati saya membangkang akan suatu hal baik jika Allah meluluhkan hati saya, maka jangan kaget jika airmata tak henti mengalir tatkala sujud dalam setiap rakaat shalat.

Hari ini kita boleh merasa bangga masih diberi istiqomah ditengah banyaknya saudara2 kita yang menurut kita sudah tak lagi berada di jalan Allah ini. Tapi menurut saya, tidak bijak rasanya jika kita turut menghakimi mereka dengan ungkapan kekecewaan dan menjadi obrolan dalam lingkaran kajian semata untuk dijadikan kajian hikmah.

Kenapa tidak doa yang dominasi kita layangkan. Kenapa tidak kita sapa kembali mereka dengan bahasa iman bercahaya berbekal rutinitas ruhiyah yang optimal agar mereka memperoleh kembali hidayah mereka.

Berkumpul dengan orang sekufu memang nyaman. Namun jika semua kita berfikir demikian, jangan salahkan jika teman2 kita yang dulunya aktivis dakwah akhirnya berkata, "Aku pernah jadi anak Rohis" tapi sekarang tidak. Karena tidak dengan mereka pun aku bisa menemukan sumber kebaikan yang lebih membuatku nyaman. Toh perihal iman tak dilihat dari penampilan dan hanya Allah lah yang tahu siapa yang paling beriman diantara kita.

Bandung, 11 November 2015

Teruntuk siapapun yang telah memilih jalan kebaikan nya sendiri. Sungguh, tidak ada yang salah di dunia ini. Yang ada hanyalah kurang tepat. Semoga Allah meluruskan apa2 yang sudah bengkok dari diri kita,

2 komentar on "Aku (pernah jadi) Anak ROHIS"
  1. bersama yg 'sejiwa' memang nyaman dan bisa memelihara istiqomah.

    BalasHapus
  2. Aamiin... semoga selalu sejalan... makasih dah komen dan mampir pak.. :)

    BalasHapus

Komenmu sangat berarti bagiku 😆
Makasi ya udah ninggalin komen positif ... 🤗