MOM BLOGGER

A Journal Of Life

Optimisme vs Takabur

Minggu, 27 Desember 2015

★★Optimisme vs Takabur★★

Akhir-akhir ini saya sering mentok ide. Selain karena faktor berkurangnya intensitas menulis, saya juga kekurangan intensitas membaca. Jangankan membaca buku, membaca hikmah kehidupan pun akhir-akhir ini sering tak saya lakukan. Ya, memang beginilah jika hidup tak lagi 'dirasa' bermasalah. Namun sebaliknya, ketika hidup kita sedang disoroti Allah dengan diberikan sedikit masalah, maka naluriah, ada proses berfikir yang kita lakukan dalam menghadapi masalah tersebut. Proses berfikir itulah yang nantinya akan menelurkan buah fikir atau bisa disebut hikmah.

Saat ini, beberapa hal yang sedikit menantang dalam hidup saya satu persatu mulai ditunjukan arah tujuannya. Mulai dari status pekerjaan suami, status studi suami hingga kejelasan keberangkatan saya dan anak-anak menyusul suami ke tempat studinya.

Sejujurnya dan seharusnya, saya belum bisa tenang sampai akhirnya urusan adiministrasi saya dan anak-anak selesai. Namun entah mengapa saya jadi merasa adem ayem atau lebih tepatnya diberi ketenangan oleh Allah. Saya berharap ketenangan ini memang sebagai bentuk optimisme ya. Bukan sebaliknya, bentuk ketakaburan (naudzubillah). Dua hal ini memang tampak berbeda. Tapi jika diaplikasikan, wujud optimis bisa saja berubah takabur atau sebaliknya. Lalu apa yang membedakannya?

Pertanyaan itulah yang tampaknya ingin dititik tekankan suami kepada saya. Apakah karena saya terkesan pesimis atau kenapa?

Jadi ceritanya, ini kali keduanya saya ditinggal pergi oleh suami untuk studi. Pertama kalinya saat usia pernikahan kami masih 8 bulan. Suami studi master di negri Paman Sam. Rencana terus berganti, dari awal ketika kami masih berstatus tunangan, hingga sampai akhirnya saya positif hamil baby kembar. Jadilah rencana akhir, saya dan suami harus LDR (Long distance Relationship).  Dan kemudian saat ini, dimana saya untuk yang kedua kalinya harus berpisah dari suami. Sekitar 6 bulan suami harus memulai perkuliahan doktor nya tanpa saya dan anak-anak karena faktor dana tunjangan keluarga yang baru mengucur di bulan ketujuh (suami saya memperoleh beasiswa dari LPDP kementrian keuangan).

Ada beberapa hal yang harus saya persiapkan. Namun jujur, saat saya berdiskusi dengan suami mengenai keiikutsertaan saya dalam mendampingi studinya kali ini, memang ada nada pesimis yang saya lontarkan. Dan saya sangat menyadari bahwa sikap saya ini merupakan salah satu faktor yang ada kaitannya dengan masa ketika suami studi masternya dulu. Selain itu, ada pemikiran dimana saya tidak mau terlalu berbesar hati untuk bagian hidup yang belum tentu disuratkan sebagai garis takdir saya.

Di poin inilah saya sedang diuji. Bagaimana saya harus tetap optimis bahwa Allah mengizinkan saya dan anak-anak mendampingi suami studi doktoral nya. Disisi lain saya harus tetap mempersiapkan diri bahwa kehidupan kedepan tidak ada yang tau bagaimana garisnya. Entah nanti visa, kesehatan, atau bahkan hal lain diluar kendali kita yang akan membelokan garis takdir ini. Rumit memang pola berfikir saya. Namun, sikap seperti ini saya rasakan sangat penting. Sikap dimana kita manusia harus mampu proporsional dalan mengelola optimisme sehingga optimis tersebut tidak berubah wujud menjadi takabur.

Sebagai manusia saya harus melakukan ikhtir fisik berupa kelengkapan dokumentasi dan prosedur untuk keberangkatan. Dan sebagai hamba Allah saya pun harus mampu menata hati agar proses hidup yang saat ini sedang dan akan saya lalui merupakan anugrah dari Allah. Dan apabila Allah berkehendak membelokannya, bisa saja apa yang saya persiapkan ini mental. Apakah saya siap? Lalu, apa yang harus dilakukan agar optimis tak berubah takabur? Menurut saya pasrah dan menyerahkan diri pada Allah lah dengan senantiasa berdoa dan berdoa agar Allah memberikan kesempatan kepada saya untuk bisa belajar mengitari bumi Allah yang luas dan kaya ini menjadi satu-satunya tindakan yang harus konsisten saya lakukan.

Inilah perenungan saya. Untuk satu sisi hidup saja kita manusia tak mampu mengotak atiknya. Apalagi untuk semua sisi kecuali atas izin Allah. Dan semoga saya dijauhkan dari rasa takabur.

Terimakasih suami, yang senantiasa memberikan saya kesempatan untuk memetik hikmah.

Semoga segala urusan kita lancar.

Jika Allah izinkan saya hidup lama, maka izinkan saya untuk menjadi manusia yang bermanfaat. Jika hidup saya tak berlangsung lama, tunjukanlah cara yang tepat agar saya bisa menjadi bermanfaat.

Payakumbuh, 27 Desember 2015

1 komentar on "Optimisme vs Takabur"

Komenmu sangat berarti bagiku 😆
Makasi ya udah ninggalin komen positif ... 🤗