MOM BLOGGER

A Journal Of Life

Terapi Wicara: Catatan ZaZi

Kamis, 28 Januari 2016

Yey!!! Saya menemukan metode terapi untuk anak-anak!!!

Ah, tapi buat apa... :( toh apa yang saya lakukan selama ini tidak diakui karena saya hanya dibilang sotoy.... hahaha

Galau ya ... si saiah... siapa sih saiah ituuu...

Saya coba untuk tidak galau ya. Dan fokus untuk share metode terapi yang saya coba aplikasikan pada anak-anak. Saya tidak melabeli ini metode saya ya. Hanya saja, saya ga tau, apakah cara ini memang dilakukan oleh ahlinya atau tidak, saya tidak tau. Saya hanya mencoba menganalisis kebutuhan anak-anak agar mau distimulus. (Setelah searching, ternyata metode yang saya gunakan mirip dengan yang digunakan terapis di You Tube)

Si kembar ZaZi, sebelum berusia 2 tahun sebenarnya sudah mulai mengucapkan beberapa kata seperti, mamam, num, dah, bis, dan beberapa kata yang sebenarnya barulah frasa. Dan jujur, saya tidak memperhatikan kapan awal mereka mulai berucap kata atau frasa dengan makna yang tepat. Ketika mereka berusia 2 tahun, mulai keluar kata umi, abi, embu, abah, nenek, yaya (nama sepupunya). Kata-kata ini keluar bukan karena diajarkan, tapi karena pengulangan pengucapan yang sering dari orang-orang disekitar mereka. Berawal dari Ziad, kemudian akan diikuti oleh Zaid.

Saya secara sadar mengetahui bahwa perkembangan bahasa anak-anak memang agak sedikit berbeda dengan anak-anak lainnya. Pernyataan dari orang-orang bahwa ketika anak sudah mulai mengucapkan satu atau dua kata secara sempurna akan merangsang perkembangan yang cukup signifikan terhadap kata-kata yang lain, tidak berlaku pada anak-anak saya. Karena dalam waktu 1 bulan memang tidak ada perkembangan yang signifikan yang bisa saya tandai.

Perkembangan signifikan disini maksudnya saya tidak menemukan hal-hal berikut:
1) anak-anak tertarik mengucapkan kata-kata sederhana (membeo)
2) anak-anak mau didikte sebuah kata dari benda atau sesuatu yang mereka tunjuk
3) anak-anak tertarik untuk berkomunikasi dengan anak-anak seumuran mereka dengan bahasa cadel ala anak-anak

Dari 3 hal di atas, si kembar sangat tidak memperlihatkan kecenderungan yang berarti. Bahasa tunjuk mereka lebih mereka nikmati ketimbang bahasa normal. Penggunaan "mi, tu tu" sambil menunjuk suatu benda lebih mereka hayati ketimbang balasan respon dari saya atau orang sekitar yang terus menerus mengulang kata dari benda yang mereka tunjuk itu. Namun pengulangan yang disengaja, terlebih meminta mereka untuk mengulang mengucapkannya, hanya akan membuat mereka menolak atau bahkan mengalihkan ke objek lainnya. Kalaupun kita 'paksa' untuk mengucapkan, mereka hanya akan menatap kita, sambil mengangguk seiring potongan frasa dari kata yang kita diktekan ke mereka. Dan hal inilah yang membuat orang tua saya bingung dan menyuruh saya untuk mengkonsultasikan anak-anak pada ahli tumbuh kembang anak. (Padahal ps masih di Bandung, saya masih selow broooo..hehehe).

Berhubung di daerah orang tua saya belum saya ketahui dokter spesialis tumbuh kembang, maka kami membawa anak-anak konsul ke dokter spesialis rehabilitasi. Tidak ada diagnosa khusus yang mengarah pada gangguan fisiologis pada anak-anak saya. Tidak ada ciri-ciri yang mengarah pada gangguan perkembangan yang upnormal. Hanya kurang stimulus kata dokternya. Hmmm ... mungkin lebih tepatnya, kurang fokus, guman saya di dalam hati. (Setelah ngobrol cukup lama sambil observasi anak-anak, sang dokter membenarkan analisis saya tentang kurang fokusnya saya dalam menstimulus anak-anak karena fokus terbagi 2).

Selama satu minggu menjelang jadwal terapi pertama, saya mencoba menerapkan metode terapi ala saya sendiri. Dan saya yakin juga diterapkan oleh para orang tua lainnya. Yaitu metode repeatation. Dulu, metode ini tidak berlaku untuk anak-anak saya. Seperti yang saya sampaikan tadi. Repeatation hanya direspon dengan anggukan oleh anak-anak sebagai bentuk persetujuan mereka bahwa kata yang kita ucapkan itu adalah benar dan tepat. Uniknya, ketika saya mengucapkan kata yang salah terhadap benda yang mereka maksud, mereka langsung menggeleng dan berkata "No, tu!" Sambil mengulang menunjuk benda tersebut.

Nah, pada metode repeatation kali ini, selain saya agak lebih tegas dan sedikit galak, mungkin anak-anak juga sudah siap dengan otot lidah mereka yang lebih kuat. Selain itu, intensitas komunikasi mereka dengan anak-anak lain juga lebih banyak (mereka lebih berinteraksi sosial ketimbang di Bandung). Bisa jadi hal ini juga mempengaruhi motivasi yang terbentuk dari dalam diri mereka. Sehingga, sehari pasca konsultasi ke dokter spesialis, metode yang saya terapkan ini membuahkan hasil yaitu, kemauan anak-anak untuk mengulang kata yang didikte kan kepada mereka mulai terlihat.

Bagaimana aplikasi teknis metode ini?
1) anak-anak saya minta mengulang kata dari objek yang mereka tunjuk
2) satu usaha pengucapan kata yang mereka keluarkan, memperoleh satu suapan nasi (metode saya aplikasikan bersamaan dengan aktivitas yang paling menyenangkan bagi mereka, yaitu makan)
3) jika mereka menginginkan sesuatu benda, artinya mereka harus mengulang pengucapan untuk benda tersebut agar mereka bisa mendapatkannya
4) metode diaplikasikan pada saat mood anak-anak sedang bagus
5) konsistensi penerapan metode setiap harinya diperlukan

Dari 5 poin di atas, poin ke 5 yang dulunya tidak saya terapkan. Sehingga stimulus yang saya berikan selalu berulang dari nol. Dan anak-anak pun jadi tidak mengapresiasi stimulus saya karena menganggap hanya main-mainkan mereka saja. Namun setelah saya konsisten dari awal hingga seminggu kedepan, hasil berikutnya mulai terlihat yaitu, anak-anak tertarik mengulangi kata yang kita ucapkan (membeo).

Saat itu saya konsul ke dokter spesialis hari Ahad. Hari senin-sabtu (terapi pertama hari sabtu) metode saya terapkan secara konsisten. Dengan harapan, pertemuan pertama dengan terapis, anak-anak jadi sudah mengenal cara yang saya terapkan pada mereka sehingga mereka tidak merasa diintimadasi oleh orang asing. (Setelah mengetahui metode repeatation yang saya sampaikan di atas ternyata memang diterapkan dalam terapi wicara, saya semakin yakin menggunakan metode ini dan terus mengembangkannya)

Bagi saya, menyerahkan penanganan stimulus anak-anak kita pada ahlinya bukan berarti menyerahkan sepenuhnya. Terlebih dalam aktivitas terapi ini, orang tua tidak diperbolehkan mendampingi. Jika anak-anak kita termasuk anak-anak yang mudah beradaptasi dengan orang asing, tentu cukup meringankan tugas kita. Kita tidak perlu mengkhawatirkan anak merasa tidak nyaman. Namun, jika anaknya seperti anak-anak saya? Begitu protective dengan kehadiran asing dengan tingkat defense yang cukup tinggi, saya rasa jika saya tidak mempersiapkan mereka dengan baik, maka akan muncul masalah selanjutnya, yaitu traumatik.

Sehingga, saya pribadi menyarankan dan lebih cenderung untuk melakukan apa yang menurut saya harus saya lakukan, meskipun sang terapis tidak menyarankan. Dan dihari pertama anak-anak terapi, selain memperkenalkan metode terapi yang kemungkinan akan diterapkan saat terapi (dari hasil searching di You tube), saya mencoba membangun kedekatan dengan sang terapis dihadapan anak-anak. Maksudnya agar anak-anak mengetahui dan bisa menilai bahwa sang terapis bukanlah orang asing yang 'membahayakan' buat mereka. Sekitar 25 menit dari 40 menit waktu terapi saya gunakan. Selain itu saya juga membangun kedekatan dengan terapis sembari memperkenalkan anak saya sebagai nanti objek terapi sang terapis. Tadinya saya berfikir bahwa terapi 4 kali pertemuan akan didampingi orang tua. Namun ternyata, di hari pertama langsung diterapi tanpa didampingi, membuat saya cukup memutar otak agar bisa mensetting terapi hari pertama tidak berkesan buruk pada anak-anak. Dan alhamdulillah lumayan baik respon anak-anak. Ga kebayang deh kalo anak-anak lamgsung diterapi di sebuah ruangan berdua ma terapisnya yang notabenenya adalah oranh asing ( saat konsul, yerapis nya ga ikut observasi anak-anak).

Terapi masih terus berlanjut di minggu kedua. Sebelum terapi kedua, metode ala saya terus saya kembangkan. Saya coba analisis kemampuan dan kebutuhan. Kemampuan lidah anak-anak mengolah frasa menjadi kata. Dan kebutuhan anak-anak dalam berbicara.

Berikut sedikit hasil analisis saya dimulai dari setelah konsul, seminggu sebelum terapi I sampai seminggu sebelum terapi ke III

MINGGU PERTAMA SEBELUM TERAPI I
Ziad
★ Kemampuan pengucapan huruf vokal bagus.
★ Pengucapan frasa penggabungan konsonan dengan vokal bagus. ★ Hanya tidak jelas dibeberapa konsonan seperti D jadi berbunyi T.
★ Kemauan berbicara bagus, apresiasi diri ketika merasa mampu mengucapkan kata yang dimaksud.
Zaid
★ Kemapuan pengucapan huruf vokal bagus di huruf A, U, E. Huruf I dan O masih belum bagus dilihat dari bunyi huruf yang dihasilkan
★ pengucapan frasa masih belum bagus. Seperti kebingungan mengolah lidah untuk menghasilkan bunyi frasa yang dicontohkan. Terlebih frasa penggabungan konsonan dengan huruf vokal I dan O,
★ Kemauan bicara belum terlihat. Sering berbisik ketika mengeluarkan kata atau frasa yang didikte.
★ Produksi kata yang dia bisa langsung bagus. Seperti kata 'Bola'. Berawal dari 'ulla', 'lla', hari ketiga sudah menjadi 'Bola' dengan artikulasi yang cukup bagus

MINGGU KEDUA SEBELUM TERAPI II
Ziad
★ Sudah mulai membeo
★ Senang diapresiasi ketika berhasil mengucap kata tanpa diminta (spontan repeatation)
★ Mulai menerapkan kata pada makna yang tepat meski masih banyak yang kurang tepat. Sehingga masih banyak koreksi.

Zaid
★ Mulai mau dan tertarik repeatation namun masih berbisik
★ Mengoceh sendiri untuk menghasilkan kata sendiri
★ Masih mengalami kesulitasn yang sama, namun pengucapan 5 huruf vokal sudah mulai pas. Meski ketika digabung dengan konsonan masih ada yang belum pas seperti minum  jadi 'manom'

MINGGU KETIGA SEBELUM TERAPI III
Ziad (Bolos terapi kedua, namun tetap terus diterapi oleh saya)
★ Produksi kata mulai terlihat banyak. Benda jatuh tak lagi disebut 'coput', tapi sudah 'jatuh'
★ Keinginan mengucapkan kata mulai tinggi meski masih kesulitan dibeberapa kata
★ Mulai terbentuk kalimat sederhana dari kata-kata baru seperti 'umi antuk bobo' >> Umi mengantuk, uminya bobo

Zaid
★ Keinginan repeatation mulai menyusul Ziad
★ Sudah tidak lagi berbisik
★ Masih kesulitan memproduksi kata namun sudah mau dan tertarik untuk terus berusaha mengucapkan
★ Namun kata baru terus bertambah dan mulai mengaplikasikan pada makna yang tepat seperti 'itan, ail' >> ada ikan di air. Namun lucu nya, ketika menunjuk ikan goreng pun kita harus memasukan kata air agar sesuai makna yang dia maksud. (Memang anak yang satu ini unik nya B.G.T!)

Demikian yang bisa saya share, heu..serius yak bahasannya. Moga-moga sih manfaat. Dan catatan ini bisa jadi dokumentasi keluarga saya. Biar anak-anak ntar juga baca.

Mengenai terapi ke terapis, saya mencoba membulatkan hati untuk menghentikan terapi. Karena saya yakin dengan penggabungan beberapa metode anak-anak bisa terstimulus dengan baik. Metode apakah?

1) Metode pembacaan ayat suci Alquran
2) Konsisten menerapkan metode yang sudah saya lakukan
3) Konsisten mengasah social skill mereka dengan bersekolah

Untuk metode poin 1, perlu lebih diintenskan lagi. Metode poin 3 juga berefek positif terhadap anak-anak. Meski mereka masih terlihat komplain ketika datang ke sekolah. Untuk hal itu saya sudah bahas ditulisan sebelumnya. Semua hanya ikhtiar saya dan suami dalam menjaga amanah titipan Allah ini ...

Masukan dan saran sangat diterima ya ... saya hanya sedang belajar. Jadi mohon maaf jika saya salah... hehehe ...

Payakumbuh, 5 Februari 2016
Tepat 31 bulan anak-anak :)

1 komentar on "Terapi Wicara: Catatan ZaZi"
  1. untung emaknya alumni bahasa ya.. jadi bisa terapi anak di rumah, ponakan aku juga telat bicara, kyknya karena keseringan main gadget, jd jrg bgt komunikasi, kalo mau apa apa lebih bnyk nunjuk aja.. usianya udah mau tiga tahun skrg..

    BalasHapus

Komenmu sangat berarti bagiku 😆
Makasi ya udah ninggalin komen positif ... 🤗