MOM BLOGGER

A Journal Of Life

Inner Child

Senin, 26 September 2016
Inner child, jika diterjemahkan bebas bisa berarti anak batin. Namun bahasan inner child dalam dunia psikologi adalah sebuah peristiwa kebatinan yang dialami manusia dewasa terkait pengalaman pada masa kanak-kanaknya. Eh tapi itu pengertian yang saya pahami denk Hehehe... Kalo di bahasa inggrisin sederhana nya our childlike aspects  alias aspek kanak-kanaknya kita. Kita disini maksudnya adult atau orang dewasa. Hmmm... Jika kamu mengenal istilah childish (kekanak-kanakan), nah inner child ini punya makna yang beda ya sama childish.
Inner child bukan karakter yang dibuat-buat seperti halnya childish. Misalkan saat kita melihat mahasiswi yang berjalan lompat-lompat percis anak TK, itu bisa kita bilang childish. Atau seorang mahasiswa yang dibentak dikit nangis mewek, nangis meweknya itu childish.
Lalu inner child itu seperti apa? Nah sebelum kita bahas diskusi, pengen tau dulu deh, pernah ga ngerasain saat kamu punya masalah (masalah paling berat dalam hidupmu) ada sisi dari dalam dirimu yang kalo kamu lagi ga punya masalah ga pernah muncul. Misal, nangis, perasaan ingin sendiri, hmmm apalagi ya? Nah kalo pernah, coba inget-inget, waktu itu kamu nangisnya kaya gimana? Merasa kaya anak-anak ga. Atau kalo kamu pengen sendiri, tapi kamu takut ketahuan sama orang lain karena malu atau gengsi ketahuan punya masalah, menyendiri ditempat yang bener-bener sendiri jadi lintasan pikiran mu. Tetiba kamu kepikiran menyendiri di lemari, atau dibawah meja atau dimana pun yang kamu yakin jarang orang kesana. Seperti halnya kamu lagi nyari tempat ngumpet saat bermain petak umpet.
Contoh yang saya gambarin di atas lebih kurang gambaran inner child. Meskipun saya ga bisa jamin contohnya tepat ya, tapi titik tekan nya adalah dimana inner child itu adalah aspek kanak-kanak kita yang muncul saat kita dewasa. (Ah jujur saja saya masih belum menemukam teori yang tepat yang bikin hati "ooooooh" dan pikiran "klik". (Ruang diskusi terbukaaaaaaaaa lebar banget...biar saya tercerahkan).
Lanjut ya ....
Nah katanya, inner child ini ada banyak bagian-bagiannya. Di dunia psikologi disebut ego personal atau ego state. Misal, ego state marah, jijik, takut, ceria, sedih, sayang (saya kurang tau dibagi ke berapa ego state. Tapi dari yang saya pahami, ego state itu semacam fitrah manusia. Yang berkembang fitrah mana aja, itu bergantung experience yang diberikan orang sekitar dan lingkungan si anak itu sendiri).
Jadi kalo kita sepakat ego state itu fitrah (sifat bawaan yang dimiliki manusia sejak lahir), maka bagi kita yang beragama (terutama yang beragama islam) tentunya memiliki ego state ketuhanan.
Macam-macam ego state ini, dimana keberadaan nya sudah ada sejak kita baru lahir, akan mengambil alih fungsi yang nantinya membentuk karakter dan kepribadian anak seiring tumbuh kembangnya. Misalkan seorang anak yang dibesarkan dilingkungan preman, dimana hidup mereka keras, kasar, dan identik dengan marah, bisa jadi anak yang bertumbuh disana akan tumbuh menjadi anak yang dikendalikan oleh ego state marah. Contoh yang lain lagi, seorang anak dibesarkan di lingkungan dimana orang tuanya sibuk bekerja, anak dititip sama pengasuh yang hanya mengasuh kebutuhan fisiknya saja, bisa saja anak bertumbuh menjadi pribadi yang penakut, bersedih atau pemarah. Tergantung memori yang diciptakan dalam experience lebih mempengaruhi ego state yang mana.
Ego state-ego state inilah yang kemudian dalam bertumbuhnya seorang manusia akan terbentuk sesuai experience tadi. Jika experience nya positif, kemungkinan ego state yang dominannya positif, begitu juga sebaliknya. Dominan disini bukan berarti menghilangkan ego state yang lain ya, hanya kadarnya lebih sedikit dari ego state yang lain. Artinya, dalam tindakannya, ego state dominan lah yang membentuk kepribadiannya (personality). Menyenangkankah, bijaksana kah, penyayangkah, dan lain-lain.
Lalu kapan inner child dikatakan bermasalah? Yaitu disaat ada ego state yang mengalami trauma di masa lalu. Misal kan ego state penyayang. Seorang anak akan merasa sangat disayangi ketika orang tuanya perhatian. Namun kenyataannya, perpisahan kedua orang tua nya menyisakan trauma dan sakit yang mendalam pada sang anak karena disaat itu orang tuanya mendadak berubah menjadi orang tua yang tidak mampu menunjukan rasa sayang dan perhatian lagi. Dalam perkembangannya, sang anak mungkin tidak kehilangan rasa sayangnya. Dia tetap bisa jatuh cinta dan respek kepada orang-orang sekitar. Namun, ketika bagian dari trauma tersebut terangkat kembali misal pasca dia menikah, bisa jadi orang ini akan mengalami kesulitan dalam menghadapi perasaan nya yang mulai tidak peka ini. Ada kesulitan yang dia rasa dan dia tidak mampu kendalikan. Perasaan sayangnya seolah memudar terkalahkan oleh perasaan bencinya. Atau lainnya.
Hmmmm ... sampe sini semoga ga pada pusing ya. Karena saya agak pusing buat deskripsiin nya. Hehehe.
Sebenernya visualisasi keren dari inner child ini ada di film Inside Out. Cung yang pernah nonton. Hehehe. Tapi di pilem itu ga ada ego state ketuhanan ya. Dan di film nya visualisasi sampe anak umur 11 tahun alias masuk usia remaja. Dimana seseorang mulai menghadapi masalah dalam hidupnya sebagai akibat dari kurang sesuainya harapan dengan realita (misalnya).
Menariknya dalam film ini, jika ditilik-tilik, keberadaan ego state yang merupakan fitrah manusia ini saling menopang dan membantu satu sama lain. Ketika 1 ego state panik, maka ego state yang lain menenangkan. Begitu terus sehingga ideal nya, manusia dengan ego state seperti ini akan tumbuh menjadi manusia stabil.
Namun kenyataannya, banyak ego state tumbuh dan kemudian gagal berkembang atau bahkan hilang. Misalkan jika kita menemukan orang dengan karakter sombong acuh tak acuh, bisa jadi dia sudah kehilangan ego state respek nya. Atau fitrah menolongnya hilang. Nah disinilah kemudian ego state yang butuh penenangan harus diperhatikan alias diselesaikan. Kalo istilah psikologinya re-parenting.
Misal, kamu merasa tidak bijaksana. Coba tilik kebelakang kapan terakhir kamu merasa sangat bijaksana? Atau siapa yang menurutmu bijaksana. Kenapa bisa kamu dulu begitu bijaksana. Kira-kira apa pemicu yang membuat kamu kehilangan ego state bijaksana mu. Jika tidak mampu menganalisis sendiri, minta bantuan psikolog atau terapis.
Dalam pemahaman dan pengamatan saya terhadap diri sendiri. Ego state yang bermasalah kembali muncul ke permukaan untuk minta perlindungan ego state lain disaat seorang manusia dewasa menghadapi duplikasi dirinya alias anak.
Bagi yang telah menjadi orang tua, jika pernah ngerasa pas marah ke anak dan tiba-tiba kamu merasa jadi kaya ibu atau bapakmu marah, nah bisa jadi inner child kamu lagi ke recall. Jika masih undercontrol (kontrol terjadi jika seseorang memiliki ego state pelindung ego state bermasalah. Misal ego state marah dilindungi ego state bijaksana) artinya kamu bisa jadi tumbuh dalam kestabilan ego state. Namun jika kamu labil, artinya ada ego state yang butuh re-parenting.
★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★
Aaaaaaaaaaah jelimet.
Sok2an bahas ala anak psikologi. Eh tapi ... saya nulis ini untuk pemahaman pribadi ya. Lagi belajar banget sama yang namanya inner child. Bahas dan diskusi ini sama suami, intinya sih ego state pelindung kita tuh ya ego state ketuhanan. Tapi kan ga semua orang punya ego state ketuhanan. Nah gimana tuh dalam ilmu psikologinya. Da saya juga masih meraba-raba. Dan memang seneng sih ngebahas beginian. Berasa bisa ngeramal orang (tapi gagal meramal diri sendiri).
Singkat cerita, saya masih penasaran sama terapi saya yang terputus. Endingnya gimana. Huft...
Sementara saya doping diri dengan bertafakur ilallah. Kuat-kuatin keyakinan soal ayat "hanya dengan mengingat Allah maka kamu menjadi tenang". Dan rentetan ayat lainnya.
Hmmmm ... yang mau diskusi, plis bisa komen disini atau di FB atau japri langsung ke WA +1 (614) 216 9652 yaks. Semoga ada psikolog yang japri saya. Aamiiin...
Colombus, 28 September 2016
12.30 am est
Post Comment
Posting Komentar

Komenmu sangat berarti bagiku 😆
Makasi ya udah ninggalin komen positif ... 🤗