MOM BLOGGER

A Journal Of Life

Image Slider

Catatan Tarbiyah

Sabtu, 30 April 2016
Setelah sekian lama saya vakum, entah mengapa tapi yang pasti Allah menggerakan jemari saya untuk menuliskan tulisan ini diperuntukkan untuk semua wanita tangguh yang pernah merasakan nikmatnya berjuang di jalan kebaikan, jalan dakwah.
Saya pernah vakum, bukan resign. Mungkin hanya butuh waktu sesaat untuk merenung.
Wahai Murobbi ....
Bisikan Kebaikan darimu terus Menghampiri
Sudah lebih dari seminggu raga ini kembali didekatkan pada jalan yang bernama jalan dakwah. Memang sempat menjauh? Ya sempat. Menjauh begitu saja. Meski ada kerinduan, tapi belum sampai pada titik 'untuk apa mendekat lagi?'.
Teringat dahulu tahun 2006 awal seorang ustadz menegur kami terutama para pendakwah senior tentang apa yang sudah kami berikan untuk Ummat. Saat itu saya hanya tersenyum bebas karena merasa masih 'anak bawang'. Saya berfikir, in sya allah 10 tahun akan datang saya bisa memberikan sesuatu untuk Ummat. Toh masih lama dan saya masih teramat muda. Waktupun bergulir. Dan tahun 2016 merupakan 10 th yang saya maksud. Sudahkah ada kontribusi saya? Saya hanya mampu tertunduk malu.
Tahun 2000 saya dikenalkan dengan Rohis. Tahun 2003 saya mulai mengenal dakwah. Dan tahun 2006 saya mulai aktif masuk di lini dakwah yang ada. Hingga akhirnya tahun 2011 saya mengalami kemunduran baik dalam segi ghirah ataupun fikrah.
Inilah mungkin yang dinamai kekecewaan. Dan saat itu saya sadar bahwa saya tak pantas kecewa karena manusia hanyalah makhluk. Namun perjalanan akhirnya sempat membawa saya pada titik dimana saya 'kecewa' padaNya (astaghfirullah) dan kemudian mencoba berbalik arah dengan alibi ingin merasakan hidup diluar berdakwah. "Saya sesekali ingin didakwahi", guyon saya.
Guyonan sempit itu tampaknya diijabah Allah. Meski tak meninggalkan dakwah 100% namun hati saya perlahan merasa tidak nyaman dan menjauh sebisa saya. Tetap menjaga hubungan sosial, namun saya memutus kesempatan untuk memperdalam ilmu Islam dengan berbagai macam alasan. Dimulai dari alasan sibuk kuliah, kemudian menikah, hamil, melahirkan, mendidik anak-anak hingga sampai pada masa dimana saya selalu dipersulit dengan alasan yang saya buat-buat itu.
Tiba-tiba saya menjadi wanita yang tak lagi berjuang untuk memperoleh setitik ilmu di majelis ilmu bernama Liqo. Tiba-tiba saya menjadi muslimah yang menjadikan anak sebagai alasan untuk tidak menghadiri liqo. Astaghfirullah ...
Sepanjang jalan khilaf saya, kelebatan wajah-wajah Murobbi saya muncul seolah hadir di hadapan saya sembari menyampaikan materi Liqo 'bahwa Allah menguji kita dari titik terlemah kita'. Namun kelebatan itu saya acuhkan ... saya kebas dengan aktivitas lain dengan alibi 'toh menjadi istri soleha dan ibu yang menjaga anak-anaknya dengan baik juga bisa menjadi jalan menuju surga!'.
Tiba-tiba muncul lagi suara berbisik "bahwa surga itu ada tingkatannya, tinggal pilih, mau amalan untuk surga emperan, atau surga FirdausNya". Masih saja saya menepis, 'surga emperan kan juga surga, yang penting kan masuk surga'.
Begitulah terus. Pikiran saya bermain-main dengan materi-materi Liqo yang tampaknya sangat terhujam dalam hati dan pikiran saya. Dan saya yakin alasan terhujam nya materi tersebut karena kekuatan ruhiyah sang Murobbi lah sehingga Allah menjadikannya sebagai jalan untuk memberikan saya peringatan.
Tak 100% meninggalkan dakwah karena saya menyadari bahwa dakwah adalah jiwa saya. Tanpa dakwah, saya hanya seonggok ranting yang siap dibakar. Namun, kekecewaan saya tadi cukup membuat hijab yang lumayan tinggi antara saya dan Allah. Sehingga kelebatan materi liqo ataupun kata-kata hikmah penuh konten dakwah pun tak saya lirik sama sekali. Hati saya seolah terkunci sehingga seluruh indra pun tertutup untuk menerima hal yang baik-baik.
Saya tiba-tiba malas menghubungkan kondisi ruhiyah dengan kekuatan kesabaran dalam mendidik anak seperti yang pernah Murobbi saya sampaikan. Saya tiba-tiba menolak segala bentuk nasehat ruhiyah dengan alibi yang salah bukan ruhiyah saya melainkan ada alasan ilmiahnya.
Saya kemudian hidup dalam prasangka dimana saya sendiri mengetahui bahwa sebagian dari prasangka itu adalah dosa. Sehingga bertambah lah terus apa itu yang dinamakan dosa (astaghfirullah)...
Murobbi, Inilah Perjalanan Nurani Yang engkau ajari
Hati saya gersang padahal saya masih shalat ...
Pikiran saya kusut padahal saya masih tilawah ...
Emosi saya tak terkontrol padahal saya masih shaum ...
Apa yang salah?? Yaitu kualitas ibadah saya ... shalat hanya sebagai pelepas kewajiban, tilawah hanya dikala waktu senggang yang sering nya tak datang, dan shaum sekedar shaum qodo.
Lalu apa yang kemudian terjadi? Saya tidak tau apa tepatnya yang terjadi pada saya. Namun kehidupan mengantarkan saya pada pemikiran dimana Allah Maha Luas Kasih Sayangnya. Meski menjauhi kaki dari langkah-langkah dakwah menuju surga, namun Allah tidak pernah menjauhi saya dari kasih sayangNya. Hingga sampailah saya pada pemaknaan tentang "jagalah Allah maka Allah akan senantiasa menjagamu".
Mungkin inilah yang saya tinggalkan. Saya sering merasa tertimpa situasi berat nan pelik. Namun saya malu untuk berkeluh kesah karena inti permasalahannya ada pada ruhiyah saya. Nurani saya sudah sangat sering berbisik lantang bahwa "jadilah kamu rahib di malam hari dan pejuang tangguh di siang hari". Kata-kata yang dahulunya menjadi penyemangat saya untuk terus berada di jalan dakwah yang tak pernah berbayar ini. Ah sebegitu rindunya saya pada dakwah ini sehingga hati sangatlah berbuncah saat mengetik cerita ini.
Ya inilah perjalanan nurani saya. Tak henti-hentinya nurani saya berbisik lantang bahwa ada yang salah pada saya. Saat lelah dititipi amanah 2 bocah laki-laki kembar dalam 1 waktu kelebatan "istirahat itu hanya di Surga" seperti air di tengah sahara. Tapi kemana saja selama ini????? Melangkah tanpa makna dan hikmah. Ah benarlah kelamnya ruhiyah saya menutupi gendang telinga saya untuk mendengar bisikan lantang nurani saya.
AllahuRabbi ... saya tidak bisa lagi menyusun kata-kata yang tepat untuk menyampaikan perjalanan saya ini. Anugrah dimana hidayah sangat mudah saya peroleh disaat usia masihlah suci (Ya. Saya berkenalan dengan dakwah sebelum saya baligh, saya rasa itu adalah anugrah. Karena Allah seperti tak ingin saya terjerumus dosa kaum remaja seperti membuka dan mengumbar aurat maupun dosa mendekati zina seperti berpacaran) dengan mudahnya saya tinggalkan hanya karena sebuah kekecewaan. Dan meninggalkan anugrah terindah dalam hidup saya yang bernama hidayah ini merupakan ketakutan terdalam yang saya miliki dulu. Ya dulu, saat awal merasakan nikmatnya iman dan Islam di jalan dakwah yang saya tapaki saat duduk di bangku sekolah.
Maafkan Saya
Apa yang ada dalam pikiran teman-teman jika ditanya apa itu dakwah? Bagi saya pribadi, dulu, dakwah itu adalah berani menyuarakan kebenaran dan menolak kemungkaran. Dan selemah-lemahnya iman dalam berdakwah, menolak kemungkaran dengan hati.
Dulu, bagi saya dakwah adalah terlibat aktif dalam strategi dakwah, dan berani menginisiasi aktivitas kebaikan sebagai salah satu jalan dakwah.
Dulu, bagi saya dakwah adalah dengan menunjukkan identitas diri secara bangga sebagai muslimah dengan pakaian menutup aurat dan hijab terjulur menutupi dada.
Dulu, bagi saya dakwah itu adalah senyuman pada mad'u (orang yang kita dakwahi) dan menjadi potensi melejit agar senyuman tak sekedar senyuman. Agar kata dan pemikiran kita mampu membawa perubahan pada sekitar kita.
Lalu kemudian makna dakwah itu berevaporasi meninggalkan alam pikiran saya yang berujung pada penurunan aktivitas dakwah sesuai pemaknaan saya tadi.
Tiba-tiba menolak kemungkaran di hati pun menghilang berubah menjadi pengwajaran.
Tiba-tiba memilih menepi dalam barisan dakwah sebagai pengatur strategi bahkan sebagai eksekutor pun tak saya lakoni dengan dalih, masih ada jalan dakwah lain.
Tiba-tiba tren hijab yang menjamur berubah jadi isu kekinian mengikis makna bahwa pendakwahlah yang memiliki pakaian terjulur indah. Dan saya pun kehilangan makna akan pakaian muslimah yang penuh sahaja.
Tiba-tiba semangat menyebar kebaikan menurun dan berimbas pada semangat untuk memperoleh sebanyak-banyak ilmu.
Tiba-tiba saya meninggalkan nikmat nya berjamaah dan dakwah. Atau mungkin inilah yang dinamakan ditinggalkan hidayah?
Ah entahlah. Maafkan saya yang pernah meninggalkan dakwah ini.
Ketika Kata, Celetukan, dan Pikiran menjadi Doa
Banyak kisah hidup saya yang terjadi ternyata merupakan bagian dari doa saya. Kalo yang kenal mas Danang Ambar  yang menuliskan 100 mimpi, mungkin inilah yang terjadi pada saya tanpa saya sadari.
Saya juga memiliki catatan mimpi, sayang bukunya tidak lagi saya temukan. Hanya penasaran, jangan-jangan poin-poin mimpi saya ada yang terwujud.
Saya sering nyeletuk dan melontarkan perkataan yang jujur saja tidak saya anggap serius namun saya menyampaikannya dengan penuh perasaan. Seperti celetukan saya saat depresi menghadapi skripsi yang tak kunjung usai. Saya saat itu merasa memiliki otak pas-pasan. Dan ditengah guyon saya berharap Allah mau memperbaiki keturunan saya dengan menganugrahkan saya suami yang cerdas dan pintar. Alhamdulillah ... seperti diijabah. Dan bahkan sampai saat ini saya tidak habis fikir kenapa suami saya mau sama saya #heu (semoga harapan saya memiliki keturunan yang cerdas dan pintar serta soleh diijabah Allah.. aamiin).
Saya tidak ingin menisbatkan diri sebagai manusia manis lidah. Saya hanya belajar bahwa meskipun hanya celetukan, benarlah perkataan itu adalah doa. Seperti celetukan saya tadi yang ingin didakwahi. Benar saja, saya seperti kembali ke titik 0 awal saya belum mengetahui nikmat nya islam dan iman.
Dari inikah saya belajar bahwa perkataan adalahdoa, artinya, keluarkan yang baik-baik saja. Termasuk saat sakit hati sekalipun.
Ah ... celetukan seorang teman yang marah dengan bilang 'dasar kamu solehah!!!' sepertinya juga menjadi doa untuk saya. Semoga.
Itulah indahnya dakwah dan berada bersama orang-orang soleh, marahpun kita disumpah yang baik-baik. :) dan mungkin inilah yang mengantarkan kerinduan saya kembali pada jalan dakwah.
Penghujung Hikmah, Untuk Para Murobbi, Terima kasih
Saat awal mengenal indahnya Islam dan memantapkan diri berada di jalan dakwah, saya mulai meyakini bahwa setiap perkataan adalah doa. Baik perkataan langsung maupun tidak langsung seperti bisikan hati, celetukan dan tulisan.
Awal duduk di bangku SMA, saya menemukan ayat yang berisi doa untuk istiqomah dimana doa itu ternyata selalu dibacakan teman saya saat kelas usai. Doanya terdapat dalam surat ali Imran ayat 8. Saya yang saat itu belum hafal doa tersebut, ketika mengetahui betapa dalamnya makna doa itu sontak menghafalkan doa tersebut. Berharap bisa saya lantunkan setiap usai shalat sebagai bagian dari rentetan doa saya.
Waktu itu yang ada dalam pikiran saya "Istiqomah itu berat, maka mintalah pada Allah agar kita diistiqomahkan berada di jalanNya". Dan dengan doa ini saya berharap Allah memberikan ijin agar saya istiqomah hingga khusnul khatimah.
Dan alhamdulillah, bisikan kebaikan dari para orang soleh dan panggilan nurani saya saat ini saya yakini di ijabah oleh Allah sebagai doa. Bahwa saya kemudian tidak benar-benar dijauhkan dari sumber kebaikan. Bahwa saya tidak benar-benar dicampakkan dalam kesesatan. Alhamdulillah. Dan saya juga meyakini bahwa doa dari orang-orang yang mencintai saya karena Allah lah yang menyingkap hijab antara saya dan Allah sehingga tak semua kebaikan tertolak oleh hati saya.
Perkataan dan celetukan ketika diskusi dengan teman-teman seperjuangan yang penuh harap dan doa pinta juga ambil bagian dalam mewarnai neuron-neuron bawah sadar saya. Sehingga mampu menggerakkan pemikiran saya untuk menyadari bahwa makna penjagaan terhadap Allah itu sangat luar biasa. Bahwa menyampaikan 1 ayat yang diketahui itu mampu merubah energi negatif menjadi positif sehingga tak ada lagi yang namanya lelah dan depresi.
Terkadang kita merasa kuat dan sering melupakan Allah yang Maha Kuat, sehingga Allah berikan beban berat agar kita kembali mengingat bahwa kuatnya kita karena Allah yang kuasa.
Terkadang juga kita merasa hebat. Seperti saya yang pernah merasa hebat dan bangga dengan 2 jagoan saya sehingga Allah berikan pada saya ujian dari kelemahan saya yang sering membuat saya akhirnya duduk tersungkur meratap kepadaNya bahwa tiada daya dan upaya melainkan atas kehendakNya.
Ya begitulah ... saat kita masih mau menggunakan pikiran, hati dan nurani kita untuk menggali apapun hikmah dibalik perjalanan hidup kita, maka kita pun akan mendapatkannya.
Tidak pernah Allah memberikan perjalanan hidup yang sia-sia jika kita mau mengakui kesalahan kita lalu bertaubat dan melakukan langkah-langkah kebaikan. Tanpa malu untuk kembali bergabung dan tanpa alibi apa-apa.
Dan inilah dia perjalanan baru babak baru. Dimana hikmah lebih pekat dan pemaknaan makin melekat.
Karena semua bagian yang telah, sedang dan akan saya jalani bagian dari kata, celetukan dan pikiran saya yang diijabah oleh Allah agar saya bersyukur.
Payakumbuh, 30 April 2016
Pukul 5.43
#diiringi suasana dini hari yang selalu mengingatkan saya pada malam panjang saat dulu meneteskan air mata dihadapanNya berharap kasih sayangNya .... ah perjalanan mengarungi maha Besarnya Alam RayaNya menanti untuk dimaknai. Tak ada lagi langkah mundur ya putri. Jika lelah, berhenti lah sesaat menatap sekitar untuk mengambil hikmah dari perjalananmu. Kemudian berlarilah seribu langkah ... semoga Allah masih berkenan membukakan jalan menuju surga ...
#terimakasih suami ... atas ketidakbosananmu untuk selalu mengingatkan ku menjadi hambaNya bersyukur. Dan perkataan suami yang menjadi titik balikku adalah saat disadarkan bahwa Allah memberikanku kesempatan untuk menjelajahi belahan dunia lainnya melalui apa yang aku tidak suka. Karena Allah menginginkan ku memaksimalkan potensi yang sudah terlalu lama aku ingkari (saya sangat benci bahasa Inggris>> mungkin ada cerita hikmah kembali tentang hal ini)
#terimakasih setiap sahabat yang mau berbagi cerita dan hikmah pada saya. Nama kalian ada dalam hati saya ... agar kalian senantiasa diberi keberkahan oleh Nya ...
Dan terimakasih tidak menghakimi saya dengan pernah berubahnya pakaian taqwa saya. Cukuplah hadiah kerudung lebar membuat saya berfikir ada guratan sedih dari kalian saudaraku ketika ku memilih memendekkan pakaianku. Kesedihan karena aku yakin...ada ketidakrelaan kalian menuju Jannah tanpa ku.. terima kasih ...

Anak Sakit? H2N Ajah!

Kamis, 28 April 2016

Zaid sakit lagi... dari hari Sabtu mpe kamis ini ...
Alhamdulillah badannya udah ga panas .. tapi masih lemes karena batuknya.

Ziad dari Sabtu kooperatif.. tapi Selasa ke Rabu mulai cemburu dan jadi ga kooperatif. Maafin ya de.. jadinya kamis hari ini umi dede sekolahin. Semoga dede mengerti ya ...

Baru saja 2 minggu ini saya merasa sangaaaaaaaat dekat dengan anak-anak. Dan baru seminggu yang lalu saya menuliskan bahwa kondisi saya dan anak-anak lebih baik dari kondisi minggu lalu. Kondisi dimana saya kewalahan membagi perhatian untuk anak-anak yang sedang dalam fase bintang.

Hadapi, Hayati dan Nikmati.
Baru sehari sebelumnya saya mencoba melakukan rumus dari Aa gym dalam mendapati cobaan hidup. Dan tidak berapa lama kadar cobaannya jadi meningkat. Nyaris. Saya nyaris kembali depresi. Depresi tanpa dampingan suami. Eling putri, istighfar, ucap saya dalam hati kemaren hari saat menghadapi anak-anak yang sedang rewel karena sakit dan karena cemburu.

Oh Allah... anugrahi saya tenaga super dan kekuatan fisik ekstra. Hilangkan lelah dan penat. Ganti dengan api semangat dan tak mudah menyerah agar anak-anak tak lagi jadi korban amarah karena kepenatan saya.

Demikian saja untuk hari ini

Payakumbuh, 28 April 2016

Awal Mula Bersekolah

Jumat, 22 April 2016

Zaid dan Ziad ... ga tau kenapa hari ini umi sedih banget. Mungkin perasaan kita sama. Umi tau kalian ga mau ke sekolah lagi. Umi tau kalian masih mau main sama umi. Atau mungkin itu hanya perasaan umi aja?
Sudah mau 4 bulan kita dengan rutinitas baru ini. Anak2 umi hebat. Banyak perkembangan positif yang umi liat. Umi sangat terbantu terutama dalam hal verbal kalian. Anak2 umi sekarang jadi pinter ngomong. Banyak hal yang ingin kalian ceritakan. Umi bahagia alhamdulillah...

Sabar ya nak ... 1 bulan lagi. Kemudian kalian akan selalu bermain bersama umi. Kemudian kita secara perlahan melihat potensi kalian. Kita sama2 mencari ya. Semoga Allah bimbing langkah kita.

Saat ini pikiran umi kacau. Banyak hal yang harus segera umi lakukan, dimulai dari pendidikan ruhiyah kalian, pengenalan tauhid, dan pembiasaan akan adab2 di keseharian. Umi pun harus belajar. Harus.

Seringkali umi merasa sedih dengan diri umi sendiri. Tapi saat ini lebih tepat jika umi berfikir bahwa kalian adalah jalan yang diberi Allah agar umi selalu melangkah menuju surga.

Sempat waktu yang lalu kaki ini berbalik arah menuju neraka. Dan disitulah umi memohon agar Allah senantiasa membimbing langkah umi. Umi takut sekaligus sedih. Tapi umi yakin kasih sayang Allah itu melebihi luasnya semesta.

Ya, umi yakin.

Alhamdulillah ala kullihal...

Fase Menjadi Bintang

Jumat, 15 April 2016

Atuhlah anak-anak ...
Bantu umi untuk menuliskan kisah baik kita... :(
Lagi-lagi umi mampir di blog untuk kisah buruk kita... umi sedih.

Menjadi perempuan yang tidak terlalu menyenangi anak kecil tidaklah enak apalagi setelah diri sendiri memiliki anak kecil dari rahim sendiri.
Namun tidak menyenangi bukan berarti tidak suka. Hanya saja saya mati gaya ketika kelamaan diajak main oleh anak kecil. Senyum saya yang awalnya merekah perlahan memudar ... dan lama2 saya bosan. Dan setelah memiliki anak kecil dari rahim sendiri, saya pun masih merasakan hal yang sama. Seperti kejadian kemaren hari, disaat saya merasa kangen dengan anak-anak dan memutuskan untuk meliburkan mereka sekolah.

★Fase ingin menjadi bintang
Zaid lagi senang-senangnya menjadi 'baby nya umi'. Dia tiba-tiba tiduran dan kemudian bertingkah seperti bayi kecil. Dengan kaki diangkat-angkat keatas seperti menendang-nendang plus suara yang dibuat-buat seperti bayi. Kelakuan Zaid persis adik saya dulu. Jika dulu saya berposisi sebagai kakak dengan usia saya yang masih SD, sekarang saya berposisi sebagai ibu di usia penghujung angka 2. Sangat berbeda sensasi yang saya rasakan.

Apa perbedaannya?
1) adik saya berperan bayi saat dia sudah lancar bicara sedangkan Zaid dalam keadaan biasa saja saya masih kesulitan untuk memahami ucapannya
2) dulu saya masih anak kecil yang mengasuh anak kecil sehingga mudah bagi saya bersikap seperti anak kecil. Sedangkan sekarang, saya belum mampu menghapus pikiran-pikiran kecil yang menjelimetkan otak saat sedang bermain dengan anak-anak. Sehingga ketika Zaid over bersikap seperti baby, saya mulai kesel.

Kenapa kesel? Karena dia berperan menjadi 'crying baby' not 'happy baby'. Modusnya ingin diperhatiin selalu sementara Ziad adiknya yang tidak melakukan hal yang sama tentunya juga membutuhkan perhatian saya. Alhasil? Mereka sama-sama berebut perhatian saya dan tak jarang berujung pada pertengkaran.

Mereka butuh disalurkan energi?
Ya memang betul. Namun ketika energi itu berlebih kala ayam pagi baru berkokok, ibu mana yang tidak panik pagi-pagi disuguhkan pertunjukan seperti ini. Boro-boro meminta mereka mandi pagi, mereka berhenti bertengkar saja saya sudah syukur.

Tampaknya anak-anak ditinggal abinya dalam fase yang kurang tepat. Kenapa? Karena saat ini anak-anak dalam fase show off. Mereka ingin jadi bintang dihadapan orang tua nya. Lho? Kok bisa tau? Ya bisa saya lihat dari keseharian mereka yang tak henti-hentinya berkompetisi memperlihatkan "mi babang bisa" dan "mi dede bisa" baik dalam makan, memakai pakaian, berhanduk, dandan sehabis mandi dengan segenap prentelan mereka sampe bermain mainan mereka yang mana anak seumuran mereka bisa saja belum bisa memainkannya (gasing dan yoyo).

Lalu kenapa Zaid menjadi over dibanding Ziad? Karena Zaid mengetahui dirinya tak banyak bisa dibanding adiknya. Karena Zaid belum berhasil menggunakan baju dan celana sendiri seperti halnya Ziad. Karena Zaid belum bisa pee dan pup di kamar mandi seperti Ziad. Apakah saya membandingkan? Tidak. Saya hanya mencatat perkembangan mereka dengan sangat sadar bahwa mereka 2 individu berbeda meski berusia sama.

Saya jadi berfikir, jangan-jangan role play as a baby yang dilakukan Zaid sebagai salah satu cara Zaid mengalihkan perhatian saya?  Karena bisa jadi dia melihat bahwa saya tampak lebih menyenangi bayi meski bayi tersebut menangis. Sedangkan saat dia menangis saya selalu meminta dia berhenti menangis dan kemudian tersenyum. Atau .... hmmm yang pasti, tingkah Zaid seperti ini karena melihat para bayi yang dititipkan di sekolah diperlakukan seperti apa. Mungkin ya ...

Terkadang menyesal saya menyematkan panggilan abang adik pada mereka. Karena membuat asumsi orang-orang bahwa abang adalah kakak dan adik adalah adik dimana kakak harusnya lebih 'pandai' dari adik. (Baiklah, kalian umi panggil nama aja)

Ah, inilah anak-anak di usia mereka yang sudah 33 bulan alias 3 bulan menjelang 3 tahun. Dengan kemampuan mereka yang masih terbatas, saya yakin (dan terus mengumpulkan keyakinan) bahwa anak-anak akan melejit sesuai dengan waktunya. Lagipula toh melejitnya anak-anak tidaklah melulu harus sesuai standar kita orang dewasa kan? Karena bagi saya orang dewasa tidaklah lebih kreatif dari anak-anak. Orang dewasa sudah terlalu banyak intervensi luar yang mempengaruhi daya kratifitasnya. Sedangkan anak-anak masih pure.

Semoga saya segera disampaikan pada waktu dimana saya dan suami bisa bersinergi dalam mendidik anak-anak. Sehingga energi positif saling berpadu mengalahkan energi negatif. (Seperti halnya sailormoon bersatu dengam tuxedoo bertopeng mengalahkan para penjahat!!! :D )

Ya, saya butuh partner!!!!

♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥
#catatan ini saya buat untuk Zaid ku ... yang hari kemaren berhasil membuat umi panik sejadi-jadinya. Yang membuat umi harus menghela nafas panjang sepanjang-panjangnya. Bantu umi mengerti kamu ya ...
ketika kamu dewasa kelak, tahu kah kamu bahwa inilah fase panik kita. Fase dimana umi merasa menjadi orang tua yang tak mampu menyeimbangkan kebutuhan mu. Sehingga saat menuliskan tulisan ini, umi hanya mampu meminta pada Allah .. "jika tidak bisa menjadi ibu terbaik, paling tidak jadikan umi menjadi ibu yang tidak menyakiti anak-anaknya ... "

Untuk Ziad, penyeimbang kakakmu ... rajin-rajin berdoa ya ... "dede sayang babang, babang juga sayang dede. Dede dan babang mau jadi anak yang soleh". Aamiin...

Dan biasanya akan ada fase kebalikan ... ah apapun fase nya, bantu saya untuk menikmatinya ya Allah ... hilangkan semua persepsi dan asumsi negatif. Bahwa anak-anak adalah anak-anak. Bantu saya untuk memahaminya ya Allah ... :(

(Tidak hanya untuk anak sendiri ... tapi untuk semua anak. Ingat. Anak-anak adalah anak-anak dengan cara dan pikiran mereka yang unik. Sadar putri!!!!!!!!)

Payakumbuh, 16 April 2016

Ketika Anakku Membenciku

Sabtu, 09 April 2016

"Baik dia .. ga rewel .. ga nangis .. ga berantem juga". Begitulah pujian kakakku untuk Zaidku setelah Zaid pulang dari rumah kakakku.

Sudah hari ketiga Zaid dan Ziad rewel. Pagi hari sebelum ke sekolah, dan sore sampai tidur. Rewel. Mereka mendadak banyak tingkah entah apa penyebabnya. Mereka seolah menyimpan kesal padaku. Karena keterbatasan mereka untuk mengungkap perasaan mereka, sehingga mereka hanya mampu mengekspresikannya dengan merengek.

Mereka yang biasanya bersikap manis dalam menyampaikan keinginannya tiba-tiba menjadi anak yang ga jelas. Merengek tanpa bisa ditebak maknanya. Yang saya tau, mereka pasti memiliki keinginan yang tak terpenuhi baik berupa benda atau pun orang.

Dan pagi ini, Zaid ku yang manis mendadak garang. Cubitan, pukulan dan tendangan mendarat dibadanku. "Anak umi kenapa??" Tanya ku bingung. Jujur saja, dalam keramaian aku memang sulit untuk mengambil tindakan tegas untuk anak-anak. Namun aku tidak mau anak-anak menjadi buyar akan konsep well attitude well response . Jika mereka bersikap baik, maka saya akan merespon mereka dengan baik. Tapi pagi ini Zaid lostcontrol. Terlalu banyak intervensi. Saya yang memang agak sedikit kliyengan semakin tak tentu arah harus bersikap seperti apa.

Jika para ibu pernah mendapati anak meminta A kemudian kita kasih A tapi kemudian beralih meminta B, itulah Zaid pada pagi ini. Kemudian jika para ibu sekalian pernah mendapati anak yang diminta dengan baik-baik untuk melakukan sesuatu (dalam kasus Zaid saya meminta dia untuk mandi pagi) kemudian dia menolak dan kita tidak memaksa. Tapi tiba-tiba ketika kita beralih pada kegiatan yang lain dia merengek rewel meminta sesuatu yang tadi kita suruh padanya. Nah itulah Zaidku pagi ini.

Lalu apa biasanya yang saya lakukan? Normalnya, saya seharusnya memindahkan Zaid keruang private dimana hanya ada saya dan dia untuk berkomunikasi face to face heart to heart. Namun kali ini? Tidak memungkinkan, karena rumah tengah ramai orang. Dan di selang saya menangani Zaid, banyak intervensi dari luar sehingga Zaid secara otomatis punya tempat pelarian. (Saya sempat memaksakan untuk ruang private, alih-alih Zaid bisa diajak kompromi, dia dengan wataknya yang kuat keukeuh dengan apa yang dia mau, yaitu keluar dari ruang private kami)

Jadilah saya pagi ini menjadi orang tua terGe-Je sepanjang hidup saya. Diledek bak anak SMA sehingga tak ada lagi wibawa saya dihadapan anak-anak. Becandaan saya dalam menghadapi Zaid dipandang sebagai sikap kekanak-kanakan tanpa mereka mau berempati lebih betapa saya sudah kehilangan cara untuk menangani Zaid dalam pikiran jernih efek dari intervensi mereka sendiri.

Oke. Aturan bebas. Kamu bebas menyelesaikan perasaan mu sendiri anakku. Selesaikan saja. Ruang privasi kita memang sedang terganggu. Umi beri kamu kesempatan untuk bisa mencicipi warna hidupmu sendiri. Karena umi pun harus belajar untuk memperlakukan mu tidak lagi seperti baby. Karena kamu sudah kanak-kanak sekarang.

Ah inilah pergolakan batinku ... yang sesaat merasa anakku membenciku. Yang merasa sesaat anakku bosan ber ibu kan diriku. Dan aku mendadak menjadi ibu terkonyol sedunia.

"Untung anak nya 2 ya" kata suamiku membesarkan hatiku melalui pesan WA.

Ya, untung 2. Sehingga mungkin inilah saatnya aku dan Ziad dating karena quality time kami yang selalu saja tidak jadi. Ya ... selama ini Zaidku terlalu mendominasi diriku sehingga Ziad tak lagi memperoleh hak nya untuk memperoleh QT bersama ibunya.

Apapun yang terjadi hari ini seolah memberi ku gambaran bahwa anak, meski mereka berada diperutku dan menghisap sari-sari makanan selama diperutku, ketika nyawa mereka bebas ke dunia, maka ketika itulah apa yang ada pada mereka akan menjadi takdir yang sudah digariskan Allah. Termasuk hari ini, sudah ketetapan Allah lah Zaid berubah sikap padaku. Dan aku harus mampu berfikir bijaksana bahwa inilah perkembangan anak-anakku yang sudah mampu mengekspresikan emosi mereka. Meski aku mungkin tak bisa menjadi ibu terbaik untuk anak-anak ku, paling tidak aku ingin anak-anakku menjadi anak-anak terbaik di pandangan Allah ...

Suatu saat tulisan ini akan kalian baca nak. Inilah umi, dengan segala keterbatasan umi. Mungkin umi terlalu asik dengan diri umi, mungkin umi lupa bertanya tentang apa yang kalian tidak sukai. Atau mungkin umi kurang peka tentang apa yang kalian butuhkan. Umi mencoba menjalani nya anak-anak ku ... sambil belajar ... kita bersama ... semoga apa yang menjadi harap diijabahNya...

Payakumbuh, 9 April 2016

Setelah tangis ku pecah menjadi bulir air mata yang menambah kata agar aku yakin, bahwa inilah cara Allah agar aku menikmati proses peng-upgrade-an diriku ...

Me Time

Kamis, 07 April 2016

Dirimu membuat ku selalu gagal berucap. Terlalu banyak hal yang membuatku semakin bersyukur.
Kekuranganmu yang selalu ku ungkit dan ingin ku untuk merubahnya ... tak pernah engkau sanggah. Lagi-lagi hanya maaf ... meski kadang ku bosan mendengar maaf mu.

Ah suami ... diri ini buruk, engkaulah yang mempoles ku hingga menjadi baik. Diri ini gegabah, dan engkau yang melatihnya sehingga berhati-hati. Dan diri ini manja hingga dirimu mendidik manjaku terjaga.

Cerewetnya aku mungkin tak jarang membuatmu kesal, bete, dan perasaan negatif lainnya. Namun caramu meredakannya ... tak membuatku meledak tak beraturan menyambar bak halilintar. Ah ... aku hanya tertegun. Engkau juga manusia. Bukankah kita dipasangkan untuk saling melengkapi kekurangan...

★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★

Sepenggal cerita yang entahlah bermakna atau tidak. Itu kisah saya pribadi. Dimengerti atau tidak, ya itulah perasaan saya saat ini. Saya tak akan mengumbar kemesraan. Karena hakikat nya pasangan halal bukanlah pengumbaran melainkan kasih sayang tak berbatas kata dan tindakan. Ada yang melebihi kata dan tindakan, bernama keyakinan.

Duh, saya tetiba merasa aneh dengan diri saya. Ingin sekali mengungkap bahwa bahagia itu tak selamanya seperti bahagia nya orang di sebelah kanan, kiri, depan atau belakang kita. Karena bahagia kita yang ciptakan. Dan bahagia berumah tangga adalah kita dan pasangan yang ciptakan.

Tulisan ini saya tulis sesaat saya berdiskusi singkat dengan suami tentang 'Me Time'. Ada konsep yang belum sefrekuensi antara saya dan suami tentang istilah ini. Konsep apa saja???

1) makna dari 'Me Time'
Saya pribadi baru mengenal istilah ini secara aplikatif sesaat setelah menjadi ibu. Viralnya istilah ini membuat saya mengiyakan bahwa saya butuh 'me time'. Maknanya???
"Waktu dimana saya hanya ada untuk diri saya. Tanpa anak-anak ... tanpa suami."
Spontan saja suami saya kaget. Hah????
"Trus ngapain nikah dan punya anak donk kalo kaya gitu????"

2) realisasi 'Me Time'
Setelah memiliki makna seperti yang saya sampaikan di atas (yang mana makna itu adalah definisi pribadi saya), maka suami bertanya tentang "memang mau me time nya kaya gimana????"

Saya jawab ....
"saya butuh waktu sendiri tanpa kamu dan anak-anak. Terserah saya mau ngapain. Di rumah atau di luar. Mau jalan-jalan atau sekedar ngopi sembari membaca buku. Apapun, yang saat itu sedang saya mau lakukan."

"Butuh waktu berapa lama???" Tanya suami serius.

"Tidak tentu ... tergantung seberapa berkualitas nya me time saya" jawab saya enteng.

"Kualitas maksudnya", suami makin bingung.

"Kualitas ditentukan oleh seberapa siap kah kamu menjaga anak-anak tanpa saya sehingga kamu tidak mengusik saya saat saya me time. Tidak menelpon atau memanggil saya ketika anak-anak rewel. It means, mau anak-anak nangis atau bertengkar, ya itu urusanmu." Maaf saya jawabnya agak sentimentil.

★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★

Pernah atau tidaknya kamu mengalami momen seperti saya di atas, dimana 'Me Time' menjadi topik diskusimu dengan pasanganmu, bagi saya topik ini penting untuk disamakan persepsi nya dan mungkin juga penting jadi bahan diskusi dengan suami.

Mungkin ada pasangan yang tidak perlu diawali dengan diskusi untuk menyamakan persepsi ini. Dan mungkin ada pasangan yang mana suaminya sangat paham akan kebutuhan 'Me time' ini. Apapun kondisi nya ... inilah cerita saya.... hehehe

Sebenernya topik me time ini sudah sangat sering saya diskusikan dengan suami termasuk saat kami masih bersama (belum dalam kondisi LDM). Namun karena memang 2 poin di atas belum memiliki persepsi yang sama antara saya dan suami, sehingga kami belum pernah merealisasikannya (dan saya sempat drop karenanya).

Bagi suami, ketika perempuan memutuskan untuk menikah, maka dia sudah harus siap untuk hidup dengan suami dan anak-anak nya. Dan jika pun akan me time, ya cukup saat anak-anak tidur. Overall, pemahaman ini benar. Tapi coba kita liat dari sudut pandang saya, sebagai istri.

Saya pribadi sebenarnya juga bukan tipe yang terlalu mempermasalahkan konsep me time ini. Karena hakikatnya, ketika anak dibesarkan secara bersama-sama, maka otomatis istri akan menemukan me time nya sendiri. Misal, disaat memasak, suami handle anak-anak FULL. Jadi istri tidak akan terlibat urusan anak-anak apapun yang terjadi.

Namun pada kasus saya pribadi, dimana anak-anak mulai dari awal mereka lahir hingga mereka berusia 14 bulan hanya merasakan kehadiran fisik saya sendiri, sehingga wajar saja baik anak-anak atau pun suami saya butuh adaptasi ketika mereka bertemu fisik.

Sebulan, dua bulan, tiga bulan saya masih mewajarkan anak-anak belum bisa menggantikan posisi saya dengan ayahnya. Sehingga apapun, semua saya yang handle. Bahkan sekedar ke toilet atau mandi pun, saya tak bisa me time hanya karena anak-anak tidak mau ditinggal dengan abinya.

Ritme perbaikan di masa adaptasi yang kurang teratur dan cenderung barbar ini membuat saya sedikit terganggu secara psikis. Saya merasa tidak memiliki waktu pribadi untuk diri saya sendiri. Selama 24 jam, saya hanya untuk anak-anak dan suami. Lebay???? Coba kita lihat list keseharian saya awal-awal suami pulang S2.

* Bagun tidur subuh, anak-anak bangun dan kadang masih ingin ngeASI. Pikiran saya teralihkan ke aktivitas menyiapkan sarapan, pakaian kantor suami. Secara umum, suami sangat pengertian. Tidak membebankan semua harus saya lakukan.
* dilanjut mandi anak-anak dan sarapan bareng. Menghadapi anak bertengkar dan rebutan dll nya.
* suami berangkat, saya bertiga dengan anak-anak. Terkadang main di luar, sama tetangga atau kadang hanya kami bertiga. Di rumah, bertiga. Rebutan nyaris setiap waktu. Perhatian terkuras ke anak-anak. Pegang gadget???? Sama artinya saya melabilka emosi saya. Dan inilah dulu yang sering terjadi. Atas nama me time, saya nyambi gadget an sambil ngasuh anak-anak. Kalo lagi eling, siapin mainan homemade buat mereka.
* anak-anak tidur siang. Saya masak untuk makan siang, nyuci baju dan piring. Tak jarang anak-anak bangun lebih cepat. Dan rewel. Pekerjaan terbengkalai. Saya pusing, anak-anak berantem, emosi pun terpancing.
* sore hari sehabis main, mandi sore, beres-beres rumah persiapan suami pulang. Waktu ini agak santai. Tapi lagi-lagi masih berkutat dengan anak-anak yang berantem dan rebutan mainan.
* suami pulang, maghrib, makan malem, anak-anak mulai mengeja tidur tetap diselingi dengan berantem dan rebutan sesuatu.
* anak-anak tidur saatnya couple time. Terkadang ikut tertidur dengan anak-anak. Cape baik saya atau suami dengan rutinitas masing-masing.

Begitulah hingga akhirnya kembali lagi subuh.

Diselang aktivitas saya itulah saya mencuri-curi waktu untuk mandi dan buang air. Selama ngontrak, kamar mandi selalu di buka apapun aktivitas saya di dalamnya. Dan ketika saya di kamar mandi, tak jarang anak-anak dengan kekanak-kanakannya rebutan sesuatu. (Kalo mereka tidur, dan terbangun kemudian mendapati saya di kamar mandi, wah tangisan mereka kaya singa yang mengaum >> lebay)

Wajar??? Ya memang wajar. Namanya juga anak-anak. Apalagi ini ada 2 anak. Hmmmm ... berarti wajar juga bukan ketika seorang istri meminta sekedar 30 menit untuk tidak berada di rutinitas yang dihadiri anak-anak dan suami??? (Butuh dukungan dan pembenaran ... hahaha). Itulah yang dinamakan me time.

Bahkan saya pribadi menginginkan me time berupa mandi, tanpa harus mendengar anak-anak berantem atau rebutan dan menangis ditambah kekurangtelatenan ayahnya dalam melerai yang malah mempermarah keadaan. Maka wajar jika saya rasanya ingin mandi di rumah tetangga atau dimana pun yang memungkinkan saya tidak mendengar kekisruhan rutin di rumah.

Saya belum siap jadi ibu?  Ya bisa jadi. Dan saya meyakini, se siap-siap nya seorang wanita menjadi ibu, tetap saja wanita tersebut butuh me time.

Misal me time nya wanita kantoran adalah ketika jam makan siang hahaha hihihi dengan rekan kerja. Atau me time nya yang dagang offline adalah ketika bercanda dengan pedagang lainnya. Lalu, me time seorang ibu rumahan seperti saya? Nyeruput kopi ketika anak-anak tidurpun saya tidak bisa karena gagal berdamai dengan cucian. Dan jika berdamai dengam cucian, artinya berdamai dengan belanja bulanan yang berkurang karena harus melaundry (dan ini akhirnya jadi pilihan akhir saya ketika sudah bosan tingkat tinggi). Ya, lagi-lagi ini memang kasuistik. Dan untuk kasus saya, saya merasa perlu untuk menyampaikan konsep me time versi saya ke suami.

Tidak ingin hal ini terulang lagi, maka tadi pun, via WA, saya mendiskusikan kembali soalan me time ini dengam suami. Menyamakan persepsi tentang makna dan realisasi me time. Dengan contoh riil yang pernah kami lewati ... akhirnya suami saya menangkap apa me time versi saya.

Diskusi kami pun berakhir baik dengan penutup dari saya,

" Yg saya harapkan ketika di US ... Beri saya waktu utk jalan2 sejenak diluar,, tanpa kamu, tanpa anak2,, sekedar melihat rerumputan...atau org2 lalu lalang".

Apapun me time versi kamu .... bagi saya me time itu membebaskan sejenak pikiran dari rutinitas diluar hal pribadi kita. Dan inilah bahagia versi saya ketika saya dan suami bersama mencari makna untuk jalan dalam keselarasan.

Punya cerita lain tentang me time .. yuk share ... mudah-mudahan saja bisa jadi cerita untuk anak-anak kita kelak dan menginspirasi orang-orang sekitar kita.

Payakumbuh, 7 April 2016

"Karena setiap kisah itu berbeda, maka tuliskanlah biar kamu mengingatnya dan menjadikannya pelajaran"

"Wahai Istri, Mandirilah melebihi Mandirinya Mantan Suamimu"

Wow, mantan. Suamimu punya mantan ga? Kalo ga tau coba tanya deh. Hihihihi...
Yang pasti setiap kita punya masa lalu ya ... dan ga usah dikasih tau lagi kalo tiap pasangan kudu menerima keadaan pasangannya baik atau buruknya.

Saya jadi teringat obrolan singkat dengan adik kelas jaman di kampus dulu.

"Teh, ada yang lagi cari istri tuh. Mau yang mandiri, pintar dan bagus manajemen keuangannya katanya." Ucap adik kelas saya itu.

"Yaaaaaah... aku ga masuk kriteria tuh kecuali 1, pinter." Sambil begaya nyombongin diri. (Nyenengin hati maksudnya ...)

Ah aku ini apalah apalah. Cuma perempuan yang ditakuti lelaki karena kesangarannya. Ga punya pengalaman kerja dan ga berjaya secara akademik. Kagak ada yang bisa dibanggain melainkan cuma 1, kecerewetanku. Cediiiiiiiihnyaaaaaaaa #mewek.

Tapi dipikir-pikir, dan makin terpikir ketika membaca selewat 4 poin kenapa wanita harus mandiri secara finansial. Eh kenapa mandiri finansial??? Ntar saya dicurigai lagi presentasi MLM lagi...heu. tenaaaaaaaang ... ga akan presentasi kok. Cuma postingan selewat itu makin saya mengiyakan kalo suami itu lebih senang istri yang mandiri. Dalam hal apapun??? Iya!!!! Betul ga para suami???? #nanyadengannadayakin.

Contohnya gimana? Secara garis besar contohnya adalah lakuin semua hal yang dulu jaman belum nikah kamu bisa lakuin sendiri. Misal nih ya detailnya. Dulu jaman kuliah saya bisa pasang lampu kamar sendiri. Sekarang udah nikah, lampu kamar mati kenapa saya kudu nunggu suami buat beli dan ganti tu lampu yaks??? Atau misal yang lain lagi. Dulu saya jaman belum nikah, kemana-mana naik angkot juga oke. Setelah nikah, diminta tolong suami beli sesuatu yang kudu ngangkot karena suami ga bisa beli karena harus kerja, kenapa saya ogah ya. Kuduuuuuu aja belinya harus bareng suami. Krik krik krik krik.

Saya ga tau apa ini hanya saya yang mengalami. Tapi pernah beberapa kesempatan terlibat obrolan ringan dengan seorang teman dan dia mengiyakan apa yang terjadi sama saya juga terjadi pada nya. Dan kami pun serempak bertanya "kok kita mendadak sok manja gini yaks???"

Ya ga papa sih ya manja, karena suami juga suka istri yang manja. Asal ga kelewatan manja nya sampe suami eneg sama kita #waduh. Ingat, konsep jangan lah kita terlalu berlebihan terhadap sesuatu itu juga berlaku lho dalam hal ini. Terlalu mandiri juga jangan, dan terlalu manja dan bergantung ke suami juga jangan. Proporsional aja. Kalo terlalu mandiri sampe-sampe benerin genteng kita bisa dan suami malah cuma liat aksi kita, bisa-bisa suami nelen ludah terus gegara berasa ga bermanpaat... krik krik krik krik.

Lha terus kenapa tuh judul tulisan ente propokatip kitu??? Pake acara ngancem nyuruh mandiri segala dan kait-kaitin sama mantan nya suami.

Hahahahaha .... saya percaya ga semua dari kita punya mantan pacar atau sejenisnya. Tapi saya yakin, semua orang pasti punya sosok yang sebelum dia menikah pernah dia kagumi dan mungkin berdecak dihati sambil berkata "calon pendamping hidup idaman nih". Baik laki-laki ataupun perempuan.

Nah, bisa saja kan suamimu dulu pengagum wanita yang ternyata tingkat kemandiriannya jauh di atas kamu. Tambah pula ternyata wanita ini memiliki kemampuan kemandirian sesuai dengan yang diharapkan suamimu. Sementara kamu??? Masih manis manja geje sama suami yang ternyata bikin suami mual. Hehehehe.

Trus gimana donk? Saya harus ngapain???

Ya hanya kamu yang tau... heu.. #nyengir. Setiap pasangan pasti punya standar masing-masing donk dalam hidup dengan pasangannya. Ciptain aja standar masing-masingmu. Hehehe...

Kal saya sama suami sih standarnya pake prinsip saling terbuka, komunikasikan semua, dan diskusikan seperlunya. Evaluasi dalam realisasinya.

Misal, komunikasikan tentang konsep saling. Saling terbuka, saling pengertian, dan saling percaya. Untuk awalan ada baiknya kita tulis poin turunan dari 3 saling tersebut. Saling terbuka menyoal gaji dan sumber pemasukan, misalnya. Saling mengerti bahwa suami dikantor cape dan istri di rumah lelah. Kemudian saling percaya bahwa suami akan berikhtiar maksimal untuk menghidupi keluarga dan istri akan berusaha maksimal dalam mendidik anak-anak.

Lebih baik lagi jika hal-hal yang sifatnya ambigu juga dikomunikasikan. Karena suami dan istri itu 2 manusia 2 kepala dan pastinya berbeda sudut pandang. Jika kita sudah paham dari dan dengan cara apa suami memandang sesuatu, maka kita akan dengan mudah menebak akan dan harus seperti apa.

Saya dan suami tipe pasangan yang selalu mengkomunikasikan hal sedetail mungkin. Meski terkadang hal tersebut akan menyulut api, apaka api cemburu atau api amarah. Tapi karena standar awal kami adalah saling terbuka dalam rangka belajar saling yang lainnya, sehingga api-api tadi dengan mudah dipadamkan. Tak jarang berakhir dengan candaan.

Termasuk perihal standar kriteria seorang istri yang diharapkan suami. Yang pernah saya pertanyakan ya soal kemandirian ini. Konsep awal suami selalu bilang PROPORSIONAL. Dari konsep inilah kemudian kami diskusikan konsep turunan nya yang lebih real dan aplikatif. Misal, selagi saya masih bisa membeli dan mengganti bola lampu yang sudah mati sendiri, maka lakukanlah. Namun jika ada halangan seperti anak-anak sedang kurang kooperatif, atau toko terdekat lagi ga punya stok bola lampu, barulah saya minta tolong suami.

Mungkin bagi sebagian orang terlalu muluk dan jelimet atau berelbihan. Ya silahkan aja sih. Kembali ke kebutuhan masing-masing pasangan. Karena saya tipe nya senang diskusi. Suami pun begitu. Namun kami beda interest ... tapi saya melihatnya perbedaan ini bukan halangan untuk mendiskusikan kepentingan keluarga kami. Daripada miskomunikasi diakhir, mending komunikasikan dan diskusikan dari awal. Seperti halnya konsep 'Me time' di tulisan saya sebelumnya. Sehingga konsep istri seperti apa atau suami seperti apa yang diharapkan bisa diejawantahkan sesuai karakter masing-masing pasangan tanpa harus terbebani kisah pasangan lain. Ingat! Rumput tetangga memang terlihat lebih hijau. Tapi yakinlah, fokus kita dalam menghijaukan rumput kita suatu saat juga akan berbuah manis dan menginspirasi.

Terakhir, saya jadi ingin tau, sudahkah masing-masing kita me-list kelebihan pasangan kita? Jika sudah, coba list kekurangan pasangan kita. Banyakan mana? Hehehehe ... semoga kita menjadi pasangan-pasangan yang selalu bersyukur ya ... dan tidak akan melirik orang lain untuk dibandingkan dengan pasangan kita dan mengingat para mantan yang mungkin saja tak lebih bahagia dari kita.

Tulisan ini hanya renungan saya saja. Yang beberapa hari ini ingat mantan #eh

Kabur aaaaaaah.... wkwkwkwkwkwk

Payakumbuh, 7 April 2016

Apresiasi yang Terlupa: Guruku

Minggu, 03 April 2016
Punya suami yang dianugrahi otak lebih pintar dari saya (sedikiiiit #sambilgaruk2tembok) sebenernya membuat saya agak (lagi-lagi cuma sedikit) underpressure ... saya yang males kudu rajin biar otak ga makin ketinggalan banyak. Saya yang rada 'oon' sembari mangap harus mingkem dan meningkatkan grade otak ke level 'cerdas' biar ga jomplang ma suami.
Duh gusti .... hikmah saya kuliah di jurusan bahasa inggris itu cuma 1 >> ketemu suami #cieeeeeee.
Kalo saya jadi pindah ke MIPA atau bahasa Indonesia, entahlah siapa yang akan jadi suami saya. Hehehe... dan kalo bukan dia suami saya, ah entahlah, akan seperti apa saya ini. Oh Allah... terima kasih udah baik ke hambaMu ini ... #cintaAllah
Percaya atau tidak, berani jujur itu adalah prinsip hidup saya. Dan semakin terlatih semenjak dia menjadi kekasih hati dengan pesan yang selalu dia sampaikan kepada saya 'be your self honey', begitu katanya lebih kurang lebih (Aslinya sih suami ngomong "jadi diri sendiri aja atuuuuuh :P).
Setelah di khitbah, jujur ada kekhawatiran yang saya rasakan. Kekhawatiran itu bertambah-tambah ketika (calon) suami meminta saya untuk membantunya me-resume beberapa artikel tentang Language&Culture . Artikelnya pake bahasa inggris kabeeeeh .. saya langsung mati berdiri... #skakmat
Saya memang memiliki ketertarikan pada bahasan tersebut. Tapi saya menyadari, sangat-sangat menyadari bahwa calon saya saat itu memiliki kapasitas keilmuan di atas saya dan saya ga PD bila harus diminta membantu dia. Saya khawatir calon suami akan kaget dan kecewa mendapati (calon) istrinya ternyata begini alias 'mengecewakan'. Akhirnya, dengan mengumpulkan energi yang cukup banyak saya jujur menyampaikan riwayat akademis saya ... :(
Dari cerita di atas kebayang kan betapa tertekan nya saya ... hahaha ... kalo ga kebayang, berarti kamu ga punya riwayat akademis menyedihkan kaya saya ... :( saat itu saya berfikir, ya mumpung belum nikah, barangkali dia memang mencari sosok istri yang brilliant jadi belum terlambat untuk mengakhiri ikatan ini (duh sedihnya ... wkwkwkwk).
Dan tau apa jawaban doi saat itu? "Oh gitu, ya ga papa atuh. Kan masih bisa diperbaiki pas S2".
Saat itu saya memang sedang menempuh pendidikan S2 di Depok. Secara pribadi saya melanjutkan S2 karena memang ingin membuktikan kemampuan diri bahwa saya juga bisa memperoleh ilmu dan nilai berimbang. Tidak seperti jaman S1 yang mana saya hanya menyerap apa yang saya suka dan ogah-ogahan sama yang tidak saya suka. Karena memang saya tidak menyukai formalitas seperti nilai dan cimelekete nya. Bagi saya, ilmu itu tak bisa dinilai. Capaian seseorang dalam memahami pun juga tak bisa diliat dari sekedar huruf A atau angka 100. Jika hanya itu patokan capaian seseorang, maka dengan jalan apapun bisa saya peroleh (alias dengan cara curang).
Saya sadar, kita butuh standar nilai agar bisa mengukur capaian pemahaman seseorang. Dan saya tidak menyalahkan sistem itu. Saya hanya butuh kesiapan mental untuk mengahadapi rutinitas akademik yang terkadang berada diluar zona ideal menurut saya. Berdamai dengan birokrasi dan karakter masing-masing dosen itulah yang harus saya miliki.
Duh kenapa jadi serius gini ya bahasannya. Heu ...
Tapi setelah menikah, paradigma saya mulai berubah. Persepsi saya sedikit mulai terarah. Perlahan-lahan saya menyadari, ada yang salah dalam diri saya selama saya menuntut ilmu. Dan yang salah inilah yang tidak pernah dilakukan oleh suami saya. (Inilah mungkin yang membuat suami saya lebih mudah menyerap ilmu sehingga pintar ... aamiin... alhamdulillah).
Khidmat dan hormat ke Guru. Ya, inilah yang salah pada diri saya. Entah sejarah apa yang dulu pernah terukir sehingga saya memiliki paradigma negatif tentang guru. Bahwa guru hanya berceloteh di kelas tanpa memahami kebutuhan saya sebagai siswa, bahwa guru hanya memperhatikan anak-anak yang aktif dan pintar saja, bahwa guru hanya menegur siswa-siswi seleb saja. Sementara saya yang berada dijajaran tengah yang kelelep oleh siswa-siswa kelas atas dan kelas bawah hanya bisa berdiam diri sembari memprosir diri tanpa mampu memahami kebutuhan diri dan kata hati. Hasilnya? Saya gagal memahami apa yang saya kejar dalam menuntut ilmu... parahnya lagi, khidmat dan hormat saya pada guru 0 besar.
Karena itulah meski nilai raport saya tidak jelek-jelek amat tapi saya merasa tidak memiliki kemampuan lebih di salah satu bidang merupakan akibat dari ketidakberkahan ilmu saya. Ya ... mungkin ...
Tidak ada kata terlambat. Silaturahim dengan para guru terus saya jaga ... meski hanya berbentuk tegur sapa tak peduli sang guru masih ingat atau tidak. Dan kehidupan kedepan pun saya masih akan bertemu dengan guru-guru kehidupan yang akan memberikan banyak ilmu. Siapapun mereka ... saya harus selalu ingat bahwa khidmat dan hormat untuk sebuah keberkahan hidup.
Perjalanan baru akan bermula .. bertemu banyak ragam manusia dan mereka semua adalah guru. Semoga hati saya dan kita semua selalu terbuka untuk sebuah ilmu yang mungkin bagi sebagian orang tak bernilai namun sangat bernilai bagi kita ...
Menjelang bulan Mei ... menjelang hari pendidikan .. saya mendadak ingin mengakui sesuatu yang sudah lama tak terungkap .... untuk para guru kehidupan saya .. terima kasih sudah memberi ilmu ... :) selamat hari pendidikan (nanti di bulan Mei ... wkwkwkwk)
Terakhir, semoga otak saya terupgrade otomatis setelah memposting tulisan ini #eaaaaaaaa
NB:
Terinspirasi dari buku 'Fernandes dan Bidadari Tak Bersayap' karya Rasi Yugafiati ....
Maaf ya suami ... padahal udah sangat sering dinasehati dan diberi tauladan langsung sama suami... dasar saya nya yang bebal ... hiks
Payakumbuh, 4 April 2016