MOM BLOGGER

A Journal Of Life

Image Slider

Inner Child

Senin, 26 September 2016
Inner child, jika diterjemahkan bebas bisa berarti anak batin. Namun bahasan inner child dalam dunia psikologi adalah sebuah peristiwa kebatinan yang dialami manusia dewasa terkait pengalaman pada masa kanak-kanaknya. Eh tapi itu pengertian yang saya pahami denk Hehehe... Kalo di bahasa inggrisin sederhana nya our childlike aspects  alias aspek kanak-kanaknya kita. Kita disini maksudnya adult atau orang dewasa. Hmmm... Jika kamu mengenal istilah childish (kekanak-kanakan), nah inner child ini punya makna yang beda ya sama childish.
Inner child bukan karakter yang dibuat-buat seperti halnya childish. Misalkan saat kita melihat mahasiswi yang berjalan lompat-lompat percis anak TK, itu bisa kita bilang childish. Atau seorang mahasiswa yang dibentak dikit nangis mewek, nangis meweknya itu childish.
Lalu inner child itu seperti apa? Nah sebelum kita bahas diskusi, pengen tau dulu deh, pernah ga ngerasain saat kamu punya masalah (masalah paling berat dalam hidupmu) ada sisi dari dalam dirimu yang kalo kamu lagi ga punya masalah ga pernah muncul. Misal, nangis, perasaan ingin sendiri, hmmm apalagi ya? Nah kalo pernah, coba inget-inget, waktu itu kamu nangisnya kaya gimana? Merasa kaya anak-anak ga. Atau kalo kamu pengen sendiri, tapi kamu takut ketahuan sama orang lain karena malu atau gengsi ketahuan punya masalah, menyendiri ditempat yang bener-bener sendiri jadi lintasan pikiran mu. Tetiba kamu kepikiran menyendiri di lemari, atau dibawah meja atau dimana pun yang kamu yakin jarang orang kesana. Seperti halnya kamu lagi nyari tempat ngumpet saat bermain petak umpet.
Contoh yang saya gambarin di atas lebih kurang gambaran inner child. Meskipun saya ga bisa jamin contohnya tepat ya, tapi titik tekan nya adalah dimana inner child itu adalah aspek kanak-kanak kita yang muncul saat kita dewasa. (Ah jujur saja saya masih belum menemukam teori yang tepat yang bikin hati "ooooooh" dan pikiran "klik". (Ruang diskusi terbukaaaaaaaaa lebar banget...biar saya tercerahkan).
Lanjut ya ....
Nah katanya, inner child ini ada banyak bagian-bagiannya. Di dunia psikologi disebut ego personal atau ego state. Misal, ego state marah, jijik, takut, ceria, sedih, sayang (saya kurang tau dibagi ke berapa ego state. Tapi dari yang saya pahami, ego state itu semacam fitrah manusia. Yang berkembang fitrah mana aja, itu bergantung experience yang diberikan orang sekitar dan lingkungan si anak itu sendiri).
Jadi kalo kita sepakat ego state itu fitrah (sifat bawaan yang dimiliki manusia sejak lahir), maka bagi kita yang beragama (terutama yang beragama islam) tentunya memiliki ego state ketuhanan.
Macam-macam ego state ini, dimana keberadaan nya sudah ada sejak kita baru lahir, akan mengambil alih fungsi yang nantinya membentuk karakter dan kepribadian anak seiring tumbuh kembangnya. Misalkan seorang anak yang dibesarkan dilingkungan preman, dimana hidup mereka keras, kasar, dan identik dengan marah, bisa jadi anak yang bertumbuh disana akan tumbuh menjadi anak yang dikendalikan oleh ego state marah. Contoh yang lain lagi, seorang anak dibesarkan di lingkungan dimana orang tuanya sibuk bekerja, anak dititip sama pengasuh yang hanya mengasuh kebutuhan fisiknya saja, bisa saja anak bertumbuh menjadi pribadi yang penakut, bersedih atau pemarah. Tergantung memori yang diciptakan dalam experience lebih mempengaruhi ego state yang mana.
Ego state-ego state inilah yang kemudian dalam bertumbuhnya seorang manusia akan terbentuk sesuai experience tadi. Jika experience nya positif, kemungkinan ego state yang dominannya positif, begitu juga sebaliknya. Dominan disini bukan berarti menghilangkan ego state yang lain ya, hanya kadarnya lebih sedikit dari ego state yang lain. Artinya, dalam tindakannya, ego state dominan lah yang membentuk kepribadiannya (personality). Menyenangkankah, bijaksana kah, penyayangkah, dan lain-lain.
Lalu kapan inner child dikatakan bermasalah? Yaitu disaat ada ego state yang mengalami trauma di masa lalu. Misal kan ego state penyayang. Seorang anak akan merasa sangat disayangi ketika orang tuanya perhatian. Namun kenyataannya, perpisahan kedua orang tua nya menyisakan trauma dan sakit yang mendalam pada sang anak karena disaat itu orang tuanya mendadak berubah menjadi orang tua yang tidak mampu menunjukan rasa sayang dan perhatian lagi. Dalam perkembangannya, sang anak mungkin tidak kehilangan rasa sayangnya. Dia tetap bisa jatuh cinta dan respek kepada orang-orang sekitar. Namun, ketika bagian dari trauma tersebut terangkat kembali misal pasca dia menikah, bisa jadi orang ini akan mengalami kesulitan dalam menghadapi perasaan nya yang mulai tidak peka ini. Ada kesulitan yang dia rasa dan dia tidak mampu kendalikan. Perasaan sayangnya seolah memudar terkalahkan oleh perasaan bencinya. Atau lainnya.
Hmmmm ... sampe sini semoga ga pada pusing ya. Karena saya agak pusing buat deskripsiin nya. Hehehe.
Sebenernya visualisasi keren dari inner child ini ada di film Inside Out. Cung yang pernah nonton. Hehehe. Tapi di pilem itu ga ada ego state ketuhanan ya. Dan di film nya visualisasi sampe anak umur 11 tahun alias masuk usia remaja. Dimana seseorang mulai menghadapi masalah dalam hidupnya sebagai akibat dari kurang sesuainya harapan dengan realita (misalnya).
Menariknya dalam film ini, jika ditilik-tilik, keberadaan ego state yang merupakan fitrah manusia ini saling menopang dan membantu satu sama lain. Ketika 1 ego state panik, maka ego state yang lain menenangkan. Begitu terus sehingga ideal nya, manusia dengan ego state seperti ini akan tumbuh menjadi manusia stabil.
Namun kenyataannya, banyak ego state tumbuh dan kemudian gagal berkembang atau bahkan hilang. Misalkan jika kita menemukan orang dengan karakter sombong acuh tak acuh, bisa jadi dia sudah kehilangan ego state respek nya. Atau fitrah menolongnya hilang. Nah disinilah kemudian ego state yang butuh penenangan harus diperhatikan alias diselesaikan. Kalo istilah psikologinya re-parenting.
Misal, kamu merasa tidak bijaksana. Coba tilik kebelakang kapan terakhir kamu merasa sangat bijaksana? Atau siapa yang menurutmu bijaksana. Kenapa bisa kamu dulu begitu bijaksana. Kira-kira apa pemicu yang membuat kamu kehilangan ego state bijaksana mu. Jika tidak mampu menganalisis sendiri, minta bantuan psikolog atau terapis.
Dalam pemahaman dan pengamatan saya terhadap diri sendiri. Ego state yang bermasalah kembali muncul ke permukaan untuk minta perlindungan ego state lain disaat seorang manusia dewasa menghadapi duplikasi dirinya alias anak.
Bagi yang telah menjadi orang tua, jika pernah ngerasa pas marah ke anak dan tiba-tiba kamu merasa jadi kaya ibu atau bapakmu marah, nah bisa jadi inner child kamu lagi ke recall. Jika masih undercontrol (kontrol terjadi jika seseorang memiliki ego state pelindung ego state bermasalah. Misal ego state marah dilindungi ego state bijaksana) artinya kamu bisa jadi tumbuh dalam kestabilan ego state. Namun jika kamu labil, artinya ada ego state yang butuh re-parenting.
★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★
Aaaaaaaaaaah jelimet.
Sok2an bahas ala anak psikologi. Eh tapi ... saya nulis ini untuk pemahaman pribadi ya. Lagi belajar banget sama yang namanya inner child. Bahas dan diskusi ini sama suami, intinya sih ego state pelindung kita tuh ya ego state ketuhanan. Tapi kan ga semua orang punya ego state ketuhanan. Nah gimana tuh dalam ilmu psikologinya. Da saya juga masih meraba-raba. Dan memang seneng sih ngebahas beginian. Berasa bisa ngeramal orang (tapi gagal meramal diri sendiri).
Singkat cerita, saya masih penasaran sama terapi saya yang terputus. Endingnya gimana. Huft...
Sementara saya doping diri dengan bertafakur ilallah. Kuat-kuatin keyakinan soal ayat "hanya dengan mengingat Allah maka kamu menjadi tenang". Dan rentetan ayat lainnya.
Hmmmm ... yang mau diskusi, plis bisa komen disini atau di FB atau japri langsung ke WA +1 (614) 216 9652 yaks. Semoga ada psikolog yang japri saya. Aamiiin...
Colombus, 28 September 2016
12.30 am est

Anak Susah Makan?

Sabtu, 24 September 2016
Ecieeeeee nulis tips niiiih...

Ga sih. Cuma mau share aja soal makan dan memakan. Dimana peristiwa ini menjadi sangat berharga bagi para emak mengingat memakan adalah proses memasukan asupan gizi biar jadi manusia yang tumbuh sehat bin cerdas.

Eh eh ga tau nya banyak emak yang setress bin panik karena anak nya susaaaaaaaaaaah banget makannya.

Hmmmm ... oke! Yuk ah cari tau dulu beberapa hal yang mungkin jadi faktor anak jadi susah makan.

★ Pernah dipaksa?
Ayo inget inget lagi mak. Pernah ga sekiranya kita maksa anak buat emam alias makan. Baik itu saat mereka baby (awal MPASI) ataupun saat mereka mulai mengenal atau bisa pilah pilih makanan. Kalo emang merasa pernah dan bahka masih berlangsung sampe sekarang, yuk ah bersabar dulu untuk ga maksa mereka. Biarkan mereka milih makanan apa yang mau mereka makan.

Mereka mau nya jajan aja?
Nah kalo mereka mau nya jajan aja, hati-hati. Anak-anak tau jajan kan dari emak ma bapak nya :P

Trus gimana donk biar mereka ga minta makanan warung mulu? Hehehe..siap-siap kuras emosi, tenaga, dan pikiran aja ya mak. Mengubah kebiasaan anak emang butuh sabar tingkat dewasa dan konsisten tingkat tinggi. Berani menanam harus berani memetik hasilnya donk. Kalo hasilnya ga sadar ternyata bukan yang diharapkan, bisa jadi saat nanam nya kita juga ga sadar lagi nanam bibit apa. Hehehe...

★ Faktor keturunan
Coba liat kebelakang, dulu jaman kita sama pasangan kita kecil, susah makan juga ga? Kalo iya, bisa jadi ada kesamaan dalam hal ini.

Picky eater?
Picky eater alias pilih-pilih makanan emang jadi ciri khas anak-anak deh kayanya. Meski ga semua anak, tapi rata-rata anak memang suka pilih makanan yang mereka suka. Ada yang pilih-pilihnya kebangetan sampe makanan kesukaan nyuma mentok di telor doank, ada juga anak yang lumayanlah banyak varian makanan kesukaannya. 

Nah kalo anaknya kaya gini sih masih lebih enak. Kasih aja apa yang mereka suka. Selipin makanan lain yang mereka ga suka tapi jangan sampe terlihat (andalan saya nih yang beginian) hehehe...

Ga masuk semua poin di atas? Ya emang sih kalo mau dibahas penyebab anak-anak susah makan tu bejibuuuuuun. Faktor nya eksternal dan internal (udah kaya partai aja). Nah kita sebagai orang tua harus ngeh sama faktor penyebabnya. Jangan pake gengsi selangit mengakui kesalahan yang pernah dibuat. Kadang minta maaf ke anak itu penting banget untuk bisa masuk ke sisi terdalam hati mereka. Sehingga mereka bisa masuk juga ke sisi terdalam hati kita yang ga mau mereka kekurangan asupan gizi.

Ingat ya mak. Anak itu manusia kaya kita. Jadi inget ingeeeeeet terus apa sih ya kita suka dan tidak suka. Dan plis jangan lakuin hal yang jelas kita ga suka ke anak. Kita ga suka dipaksa, misalnya, ya udah jangan paksa anak juga. Masih ada cara yang lebih elit, dengan teknik negosiasi. Kamu mau A? Kamu harus B dulu. Misal, kamu mau main diluar? Kamu harus makan dulu. Ga mau makan? Boleeeeeeh. Tapi kamu ga dapat hak main ya. (Saya sih gitu, dan ya sampe sekarang masih berhasil aja. Sekaligus asah logika dan critical thinking nya anak-anak juga)

Udah ah ga usah pusing. Selagi mereka masih mau makan (ga harus nasi lhoooo) baik itu makan jagung, keju, roti, wortel, kentang atau bahkan telor aja berarti mereka masih normal. Karena makan itu ga hanya nasi (kita aja orang indonesia yang kaku ... ga makan kalo belum nemu nasi :P ).

Percayalah, anak itu pinter kok. Yang bikin mereka miss behave ya kadang dari kitanya sih orang tua ... ayo jujuuuuuur :P
Selamat observasi dan menyadari kesalahan diri plus belajar ya mak emak .... belajar sama anak juga menyenangkan lhoooo.

Ssssssst, kasih obat tradisional atau pun resep dokter boleh boleh aja sih. Tapi ingat, jangan dipaksa. (Saya sih ga suka dipaksa disuruh minum obat. Tapi akan memaksa diri minum obat kalo udah harus bin wajib. Nah saya perlakukan logika begitu juga ke anak-anak. Sambil bangun dialog, sambil negosiasi, sambil ajak anak mikir kenapa sih harus minum obat, atau makan sayur, atau makan buah)

Colombus, 22 September 2016
9.10 pm est

Percayalah, mereka bisa!

Sudah jalan 3 minggu anak-anak sekolah. Secara umum sih mereka fine! Tapi yang namanya emak, adaaaaaaaa aja yang dipikirin. Mikirin mereka di sekolah gimana, bilang kalo lapar gimana, kalo haus gimana, kebelet pup sama pee gimana. Bisa ga ya mereka ikutin instruksi gurunya. Punya temen ga ya mereka. Hmmmm ... aduh... hmmmm ... Ya Allah ... bla bla bla bla ...

Dan pagi ini saya yang sebenernya udah berdamai dengan semua pertanyaan itu kembali terusik karena masih belum nyaman dengan gayanya guru Zaid yang berbeda dengan Ziad.

Gurunya Zaid cenderung cuek. 3 minggu bersekolah belum pernah saya dapati mereka menyambut atau melepas Zaid dengan pelukan seperti yang dilakukan gurunya Ziad. Hmmm ... yasudlah. Toh tiap guru punya cara yang berbeda. Toh Zaid fun fun aja. Ga usah dipusingin selagi anaknya oke oke aja.

Yah begitulah mak jadi orang tua. Terkadang perasaan kita justru jadi musuh utama kita. Berdamai dengan perasaan yang mengarahkan pada prasangka hanya memperumit keadaan yang sebenernya ga rumit-rumit amat memang jadi pekerjaan sulit. Tapi disitulah seninya. Ntar anak makin gede makin dahsyat lagi kayanya. Apalagi disaat mereka besar mereka meminta sendiri untuk mandiri, dan mulai risih ketika masih diketekin emak.

Lha terus? Kita kan mau memberikan yang terbaik buat anak kita. Ga mau mereka sedih apalagi salah jalan. Iya betul... Yang perlu kita inget sih how to nya. Sudah tepat apa belum. Komunikatif apa ga. Mengingat anak semakin gede semakin independent. Semakin ga mau di intervensi.

So, sebaiknya kita gimana? Bangun komunikasi yang baik dengan anak. Perlakukan mereka sebagaimana baiknya kita memperlakukan manusia. Dimana kita juga tidak mau diintervensi dan disuudzoni plus dikhawatiri berlebihin bin dikintili.. hehehehe

Colombus, ditulis saat mau belanja mingguan seberes anter anak2 sekolah. Hilangin gelisah liat zaid yang sendirian dikelas karena temen2nya lum ada yg dateng.

22 September 2016

Sleeping Beauty Syndrome

Selasa, 20 September 2016
Setelah sekian lama berhibernasi dengan pikiran berkecamuk penuh analisis untuk sekian banyak fakta yang perlahan jadi masalah, maka solusi tiba-tiba mendesak untuk dicarikan.


Oooooh. Asli otak saya serasa mau pecah untuk bisa memahami permasalahan utama dari sistem peradaban terkecil yang tengah saya (& suami) coba rintis yang bernama keluarga.

Bagaimana ga pusing???? Selama nafas masih berhembus, jantung masih memompa, artinya saya masih hidup, selama itu pulalah saya akan terus dihadapkan pada sebuah fenomena kehidupan dimana saya (yang bernama manusia) terus berfikir akannya. Akan hakikatnya dan hikmahnya. Kenapa begini .... kenapa begitu. Kenapa ini ... kenapa itu.

Dan tampaknya otak yang mulai tumpul dan hati yang sedikit mengeras ini perlahan-lahan bisa menajam dan melunak kembali setelah di reset ratusan kali #huft.

Jadi ini teh mau ngomongin apaaaaaaa???? Tenang pemirsah, biarkan saya curcol dulu :P

Begini. Saya coba menjabarkan sesistematis mungkin berdasarkan waktu kejadian perkara (kaya ngomongin kasus begini yaks) mengenai kecamukan otak saya efek dari membaca teori ideal tentang membangun keluarga, yang saya poinkan sebagai berikut:

1) memilih pasangan suami/istri yang siap menjadi ayah/ibu terbaik untuk calon anak-anak
2) meningkatkan kapasitas dan kualitas diri terutama kualitas keimanan dalam menanti kehadiran buah hati
3) menjalankan amanah baru sebagai orang tua yang dititipi Allah buah hati (titipan, jadi harus dijaga)
4) mendampingi perkembangan anak sesuai dengan fitrah baiknya
5) mendoakan selalu

5 poin di atas hasil kecamukan otak saya pribadi yang sedikit banyaknya memunculkan rasa bersalah yang sedikit demi sedikit muncul dari dalam hati. Dan untuk 5 poin ini lah saya namai diri saya dengan Sleeping Beauty

Aaaaaaarrgh .... Selama ini saya merasa menjadi putri tidur yang menunggu kecupan seorang pangeran untuk terbangun. Iya sih pangeran saya datang ngebangunin pake banjur air "bangun miiiiii, jangan kebanyakan mikiiiir". 

Hmmm ... Dalam arti kata, ternyata (lagi) saya terlalu banyak tidur dan akhirnya mengalami perlambatan dalam memahami ilmu yang berseliweran.

Tertohok banget pas baca (apa denger ya, lupa lagi) bisa jadi kita banyak ilmunya, tapi banyak ilmu kalo ga barokah? Ya percuma! Sedikit ilmu dan ga barokah lebih-lebih lagi... udah mana dikit, ga berkah pula. 

Esensinya apa? Ya berkahnya. Agar ilmu yang didapat bisa terserap hingga akhirnya mampu tertuang dalam aplikasi perbuatan dan bahkan mewarnai kehidupan sekitar kita, butuh kesiapan hati di dalam nya #duhadeeeeeeeem

Ya Allah ... bantu hamba mengurai satu persatu benang pikiran yang berseliweran simpang siur ini ya Allah ... #curcollagi

Saya hanya mencoba menuliskan hasil refleksi diri tentang saya, suami, anak-anak. Dimana kami sekeluarga adalah miniatur peradaban yang sedang dibentuk.

Dari awal pernikahan hingga waktu sekarang dan bahkan sudah terfikirkan rancangan nya untuk waktu mendatang. Namun dalam perjalanannya, revisi demi revisi dilakukan seiring bertambahnya masukan ilmu. 

Tapi sayang, lupa melihat titik keberkahan nya. Atau kalo pun berkah, lupa melihat faktor lain yang memberikan sedikit intervensi akan pembangunan peradaban mini ini. Sehingga membuat saya hanya menjalankan rutinitas hidup sebagai sebuah kebiasaan dan pembiasaan. Jika dibiarkan bisa berbahaya. Karena saya akan tertidur selamanya dalam kesalahan dan ketidakpekaan ini.

Sebenarnya poin apa sih yang menjadi titik permasalahan saya? Yaitu poin memahami ke-aku-an diri.

Menjadi individu yang terbiasa dengan aktivitas padat di luar rumah tentunya memberikan culture shock tersendiri kala berubah aktivitas yang cenderung monoton di dalam rumah. Di tambah aktivitas baru ini bukanlah sebuah agenda program ini atau itu dengan kepanitiaan segini dan segitu melainkan aktivitas dimana hanya ada 1 atau 2 orang panitia dengan objek program berupa orang, bukan kegiatan. Akhirnya muncullah demand baru berupa adaptasi.

Dalam proses adaptasi inilah ternyata sering membuat saya terlena dan tertidur. Bangun-bangun objek program saya sudah beranjak remaja. Evaluasi kinerja bisa saja dilakukan, tapi perbaikan aktivitas tidak bisa dilakukan di waktu ke depan mengingat program saya adalah mendidik anak manusia, bukan membuat sebuah acara atau event.

Sebenarnya saya pribadi mulai dibangunkan dari tidur panjang saya sejak saya memasuki usia kehamilan 6 bulan. Kala seorang sahabat berbagi ilmunya tentang gentle birth dan bercerita betapa janin pun bisa diajak komunikasi. Betapa janin pun sudah menuntut untuk diakui kehadirannya paling tidak oleh kedua orang tuanya.

Saat itu saya sangat tertarik mendengar sharing ilmu dari teman tersebut. Bahkan tak pikir panjang saya langsung membeli buku terkait psikologi ibu hamil termasuk salah satunya gentle birth dimana di buku tersebut dijelaskan mengenai apa itu gentle birth sehingga membuat kita akhirnya semakin dekat dengan calon bayi kita.

Setelah anak-anak lahir, saya pun sedikit lupa dengan ketertarikan saya dalam dunia parenting. Keyakinan akan kedekatan anak bisa terbangun sedini mungkin mulai diuji dengan permasalahan teknis yang berawal dari ASI, lanjut Mpasi dan seterusnya. 

Kenyamanan teori kekinian berbenturan dengan realita yang saya hadapi membuat saya jatuh bangun dalam memaknai ilmu. Kadang diterima kadang ditolak. Kadang diresapi dan kadang dicemoohi. Begitu seterusnya silih berganti bak seorang pendosa yang belum melaksanakan tobatan nasuhanya.

Perlahan tapi pasti, seperti yang saya sampaikan di atas, karena saya manusia makanya saya berfikir, dan karena berfikir makanya saya memperoleh hikmah. 

Perjalanan panjang ini berujung pada pertanyaan 'seberapa ikhlaskah kamu menerima sebuah ilmu?'.

Kecaman, judgement dan hal negatif lainnya ternyata secara tidak sadar merubah saya menjadi pribadi yang antipati. Nyaris skeptis untungnya ga anarkis dalam menghadapi sebuah perbedaan persepsi keilmuan. Kekakuan saya dalam menelaah ilmu baru, juga sedikit banyak membuat saya tidak enjoy dalam mengaplikasinnya sehingga membuat sedikit tersiksa. 

Dan saat semua memuncak, disaat itulah saya tetiba kembali tertidur dan tidak mau ambil pusing dalam khazanah ilmu parenting yang sempat saya minati.
Menjadi sleeping beauty kembali, menjalani hari-hari berbekal nurani yang kadang didengar kadang diacuh. Sampai akhirnya saya kembali tersentak dengan cerita peterpan dan cinderrela. 

Tertampar saat menyadari bahwa penolakan saya terhadap ilmu baru di dunia parenting adalah wujud penolakan diri agar tidak di salahkan atau agar terlihat menjadi ibu yang kece dengan 'jalan saya sendiri'.

Yah begitulah perjuangan unik dunia para ibu atau emak-emak. Rutinitas yang bertemankan benda mati berupa dapur, kasur dan cucian membuat para emak lupa mengasah intrapersonal dan interpersonal nya. Proses berfikir mandeg di arena anak dimana satu-satunya objek hidup yang rutin mereka temui.

Menjadi emak baru dengan segembol aktivitas baru yang suka bikin emak urban galau dan merasa butuh bekerja atau kuliah lagi inilah tantangan yang kalo bisa ditaklukan bisa menjelma jadi supermom. 

Ah tapi ga butuh jadi supermom kalo ga ikhlas juga. Karena keikhlasan seseorang itu suatu saat akan diuji. Daripada sibuk mikirin yang ga pasti dan malah jadi sleeping beauty, mending sibukkan diri dengan meningkatkan kapasitas diri. 

Mulai 0 KM kita dari sekarang, belajarlah ilmu dengan ikhlas, in sya Allah lebih bermakna.

Jadi 5 poin yang bikin rasa bersalah saya muncul terus itu gimana?  Saya atasi dengan 0 KM saya. From zero to hero. 

Sekarang masih waktunya menikmati proses :)

Colombus, 21 September, 2016
12.30 PM est.

Home Visit Gurunya Anak-anak

Jumat, 02 September 2016

Sudah lama tidak berkabar lewat tulisan tentang anak-anak. Jadi kangen juga nulis gimana mereka selama di Colombus. Apalagi sebentar lagi, tepatnya Selasa depan mereka memulai hari dengan bersekolaaaaaaah... Yey!

Pada dasarnya yang namanya anak-anak memang memiliki daya adaptasi tinggi. Bahkan jika dibandingkan adaptasi mereka awal pindah ke Payakumbuh, kota asal saya, maka anak-anak lebih cepat beradaptasi di Colombus. Dalam waktu 1 bulan paling tidak mereka sudah mau mengakrabkan diri (lebih tepatnya diakrabkan) dengan anak asing yang baru mereka kenal. Tetap sih awalnya pake acara malu, teriak-teriak alias defense tingkat tinggi. Tapi belajar dari pengalaman di Payakumbuh, mengurangi intervensi terhadap mereka jauh lebih membuat mereka mampu beradaptasi cepat. Hasilnya? Mereka menemukan cara mereka sendiri untuk bisa berinteraksi ala anak-anak. Saya hanya jadi tim 'lalala yeyeye' aja biar rada rame.

Nah, kemaren, hari Rabu kan ada home visit gitu dari calon guru sekolah nya anak-anak. Meski gurunya ga bilang mereka kelasnya dipisah, tapi dengan datangnya 2 guru untuk 1 anak 1 guru saya bisa menyimpulkan bahwa mereka nanti akan berada di kelas yang berbeda. Oke, memang itu yang saya harapkan.

Guru pertama yang datang namanya miss Amy. Guru muda belia yang masih cantik dan modis tapi tetap sopan ala guru Amerika. Sepertinya agak feminin karena pake rok, hehehe. Kedatangan miss Amy ini 'disambut' heboh sama anak-anak. Wah pokoknya miss Amy liat mereka dalam wujud aslinya deh. Setelah miss Amy pergi, tak lama berselang datang lagi miss Kaitlin. Yang ini rada kece ala-ala guru olah raga. Kalo bahasa kitanya rada tomboy. Dua-duanya cantik. Tapi kata ZAid miss Amy lebih cantik #hatchim #anaksiapasih!

Miss Amy datang untuk mengetahui detail tentang calon muridnya, yaitu ZAid. Sedangkan miss Kaitlin tentunya calon gurunya ZIad. Mereka membawa form yang sama. Berisi tentang pertanyaan seputar anak, karakteristik anak, program sekolah dan juga info lain yang berlembar-lembar banyaknya. Sehingga saya hanya mengingat beberapa, diantaranya:
★ terkait cara mereka mengungkapkan marah, sedih, bahagia (perasaan lainnya)
★ terkait semua hal yang mereka senang dan benci
★ terkait kepribadian anak apakah mereka suka berbagi, bergaul dan berteman, ataupun bermain bersama
★ terkait kebiasaan mereka semisal bangun dan tidur jam berapa, makan pake tangan atau sendok, udah bisa bilang pee dan pup belum, bisa ngeflush sendiri ga, dan kebiasaan lain terkait life skill
★ terkait riwayat kesehatan seperti penyakit, alergi dan pantangan makanan
★ dan juga kita dikasih sebundle buku yang isinya kumplit tentang program sekolah (dan saya belum mempelajarinya... hehehe)

Hmmmm.. apalagi yaks. Cuma ingetnya segitu... Maapkan... Pokoknya lengkap dah pendataannya. Sayangnya pendataan ZAid saya khawatir kurang valid karena dijawab suami, sementara saya sibuk dengan ZIad yang rewel. Heu ... Nah pendataan ZAid situasi dah aman, ZIad udah bobo sehingga saya bisa nimbrung untuk menjawab pertanyaan dari miss Kaitlin.

Sejauh ini, ZA masih memiliki tingkat sosial yang tinggi dibanding ZI. Tapi saya ga ambil pusing karena mereka memang begitu, suka berganti mood. Terkait sosialisasi ini, ZAid punya cara sendiri untuk PDKT. Percis ala anak-anak. Sambil 'motah' dia berlalu dekat miss Emy sambil say "Hallo!" Berkali-kali. Sayang miss Emy ga ngerti dan ga ngeh jadinya ZA dicuekin. Tapi paling tidak saya jadi tau "ooooh begini toh bang cara kamu menarik perhatian orang". Great job boy! Kalo miss Emy nya ga buru-buru mah, bakal umi interrupt bang interviewnya ... hehehe

Trus gimana nih persiapan sekolah? Untuk persiapan sekolah Selasa depan alhamdulillah saya merasa tidak terlalu bikin deg-degan lagi. Karena akhirnya anak-anak masuk kelas jam pagi, dari jam 8.30-11.30, sehingga saya bisa jemput antar anak-anak barengan pak suami. Hehehe. Maklum, masih khawatir kalo ngobrol pake bahasa Inggris sama guru anak-anak, malah jadi gagal paham ntar. Selain itu juga biar anak-anak bisa punya jam tidur siang dan tentunya memulai hari dengan aktivitas pagi yang rutin biar mood mengawali harinya lebih positif.

Di sekolah mereka ada 4 jenis kelas lho. Art, music, dan 2 lagi saya lupa #heu. Saya harus yakin bahwa anak-anak mampu beradaptasi cepat. Belajar dari pengalaman waktu sekolah di Payakumbuh tentunya. Dan semoga disini jauh lebih baik alias mereka makin seneng ke sekolah, bukan sebaliknya, bikin mereka kapok.

Sebagai pembiasaan, selain merespon kata-kata bahasa inggris dari tontonan kartun edukatif yang mereka tonton, saya juga mencoba merespon keinginan mereka dalam bahasa inggris. Dan takjub, mereka mengerti plus responnya udah kaya bule aja, pake 'hu uh' ala bule (kebayang ga???). Itung-itung saya latihan, lumayanlah jadi bikin PD emaknya sama bikin lidah makin terbiasa cuap-cuap English.

Dah ah segitu dulu. Semoga semua harapan baik terkabul. Aamiin ...

Colombus, 1 September 2016