MOM BLOGGER

A Journal Of Life

Image Slider

Ungkapan Rindu untuk Abi

Kamis, 31 Desember 2015

★★ Zaid Kangen Abi? ★★
Sumber: putrihasma.blogspot.com
Kemaren sore, tepatnya pukul 16.00, anak-anak bangun dari tidur siang mereka dan, Zaid (Za) tantrum lagi ... #garuk-garuk tembok deh eike sambil mewek ...
Memang sudah dari hari Senin Za pasti tantrum satu kali dalam sehari. Alhamdulillah cuma Za saja, jadi Ziad (Zi) bisa saya titip ke Om, Uncu atau Oma nya. Dan kemaren sore kali ketiganya Za tantrum tanpa ada pemicu yang jelas. Biasanya, jika pun tidurnya belum pulas, ketika ada hal yang saya lakukan namun dia-nya ga seneng, cukup dikomunikasi kan baik-baik semuanya beres. Tapi tidak untuk 3 hari belakang ini. Apapun yang saya komunikasikan mental. Parahnya, semua hal yang saya lakukan dan tawarkan mental dan malah bikin Za makin meradang. Mamaaaaaaaaaah #mewekmenjadijadi
Saya mengakui memiliki PR BESAR dalam kontrol emosi. Karena saya mengetahui titik lemah saya ada di poin itu. Terlebih ketika kemumetan pikiran menjadi pemantik emosi saya baik karena situasi psikis dan fisik saya yang letih. Jujur Hayati lelah bang Zainudiiiiiiiiiin #meweklagi
Senin dan Selasa saya bablas memarahi Za saat tantrum. Marah pemirsah!!! Marah benar-benar marah. Ah sudahlah ,,. :( Dan selasa malam nya, setelah membaca sebuah artikel, saya menangis sejadi-jadinya menyesali apa yang saya lakukan. "Bantu Umi belajar menjadi orang tua yang baik nak, pliiiiiiiis"... dan tangisan saya berujung di pulau kapuk (alias ketiduran setelah chat dan curhat via chat WA dengan tuan suami).
Rabu, kemaren, tantrum lagi?????!!!! Ya Allah ... sabar kan hamba... :( Sabar... Sabar... Sabar...
Ketika Za menangis sejadi-jadinya, saya berpindah posisi dari ruang tengah ke kamar. Sontak Za pun mengikuti saya terbirit-birit dengan tangisan yang semakin menjadi-jadi. Setelah dia juga masuk kamar, pintu langsung saya kunci. Zi pun memanggil dari luar. Saya membuka pintu. Tadinya saya fikir Zi mau masuk juga. Tapi Za, yang tadinya minta keluar malah menutup pintu dengan sikap tantrumnya yang semakin menjadi-jadi. Akhirnya, sambil menahan pintu agar tetap terbuka, saya bilang ke Zi "dede, abangnya lagi rewel, dede main sama oma dulu ya.." dan Zi pun mengangguk. (Ziad memang dekat dengan oma opa dan uncu nya).
Drama pun masih berlanjut sesaat setelah pintu kamar ditutup. Lebih kurang 20 menit lebih Za tantrum. Dalam kurun waktu itu saya melakukan berbagai macam hal. Dimulai dari mendiamkan, bernegosiasi, menawarkan pelukan dan gendongan sambil menebak-nebak apa yang sebenarnya menjadi akar dari tantrumnya Za yang tidak biasa ini. Saya pun penasaran membuktikan, apa benar Za kangen sama abinya? (Nada ga yakin.. hehee peace abi,,,). Saya coba melontarkan pertanyaan "Abang kangen abi?". Namun seperti pertanyaan-pertanyaan lain saat negosiasi saya lakukan, He only said 'NO!!!'. Bedanya 'No' kali ini lebih besar dan bereskpresi sedih. Saya akhirnya saat itu menyerah. 20 menit lebih sodara!!! Rekor waktu untuk kontrol emosi yang pernah saya lakukan. Belum lagi ibu saya yang teriak-teriak dari luar minta agar saya keluar dan bilang kasian anak, nanti perutnya tegang. Bla bla bla. Saya under pressure. Disatu sisi ingin memecahkan teka teki ini, disisi lain saya cape. Psikis saya belum begitu stabil dengan LDR kali ini. Tapi ya itulah, bagian hidup saya yang ini harus tetap saya jalani agar bisa menjemput bagian hidup yang lain #serius >_<
Dengan nada lelah, cape penuh kelemahan. Saya ajak Za ngobrol dari hati ke hati. Entah kenapa hati saya tergetar. Saya ingat artikel yang saya baca di malam sebelumnya. Saya berjanji tidak akan menggoreskan luka lagi pada anak-anak terutama Za.
"Umi janji bang... Tolong bantu umi. Umi ga kuat melihat abang nangis kaya gini. Umi takut kepancing emosi. Umi takut bablas mukul kamu lagi. Umi mau Zaid tumbuh jadi anak yang lembut. Tidak kasar seperti Umi. Umi mohon..." #asliinisayanangis :'(
Dan memang, hati hanya bisa digenggam oleh hati. Meski sebelumnya saya berdoa di hati agar Allah melembutkan hati Za, tapi ketika hati saya sendiri masih keras, tidak akan mungkin bisa doa itu sampai pada hati anak yang fitrahnya sangat lah lembut. Allah ... Ya! Allah lah yang memberikan saya kelembutan hati sehingga untuk yang pertama kalinya saya hanya bisa menangis menghadapi anak tantrum. Perlahan tangisan Za mulai terdefinisi kan. Kami menangis berdua. Dan tangisan kami semakin deras saat Za teriak memanggil Abinya ... Ya rahman... ternyata dia memang rindu Abinya. Sambil menunjuk arah luar Za terus menangis sesegukan.
"Abang mau telp abi?" Za pun mengangguk sambil bilang "Bi...". Saya buka video call LINE. Tentunya tidak ada jawaban. Karena disana masih dini hari. Subuh disana nyaris jam 7. Karena saya dan Za sudah saling menyatu hatinya, alhamdulillah saya coba negosisasikan ke hal lain dan negosiasi pun tidak mental alias berhasil. Za yang saya gendong memeluk saya erat. Dan kami pun merasakan keromantisan antara ibu dan anak. Jujur, baru kali ini saya berhasil memahami perasaan anak saya.
Anak yang berusia 2 tahun 5 bulan. Yang kemampuan verbalnya masih dikhawatirkan karena belum mampu bercuap-cuap seperti anak seumurannya. Karena hal inilah saya, sering dihadapkan pada situasi dimana saya harus menterjemahkan keinginin si kembar ini, dalam bahasa ala-ala mereka. Dalam keadaan normal saya mampu menerjemahkan dengan baik. Namun dalam keadaan tidak normal seperti tengah tantrum ini, saya menyerah.
Alhamdulillah ... Alhamdulillah ... Alhamdulillah
Materi kontrol emosi dan mengatasi anak tantrum akhirnya bisa saya praktekan dengan baik meski menguras energi dan pikiran. Akhirnya saya bisa menyimpulkan, bahwa inti utama dari ilmu parenting itu adalah "meyakini bahwa Allah lah yang berada dibalik semua peristiwa"
Payakumbuh, 31 Desember 2015
Tulisan ini saya persembahkan untuk suami saya, yang selalu setia membaca tulisan-tulisan acak saya... :)

Copas dari FB tertera di foto

Selasa, 29 Desember 2015

Wahai Ibu, tidakkah engkau menyimpan surga di telapak kakimu?

Tetiba mata terbelalak. Kerongkongan terasa tercekat. Napasku memburu. Dan tak habis pikirku setelah membaca sebuah postingan seorang ibu yang lewat di berandaku. Seorang ibu menggetok kepala anaknya dengan piring hingga terbelah.... ya Allaah, hatiku menangis. Batinku teriris. Semoga saja sang anak tidak apa2. Seperti yg dikatakannya dlm sebuah komentar....

Disini sy tidak akan menghakimi sang ibu yg bisa melakukan hal setega itu dan sy berharap itu yg pertama dan terakhir kali ia lakukan.
Disini sy ingin mengajak kepada semua wanita yg bergelar IBU untuk sama2 bercermin. Sama-sama bermuhasabah...

Wahai Ibu, SeREWEL dan seNAKAL apapun tingkah dan polah anak kita, tetaplah kita TIDAK BERHAK untuk melukai dan menyakiti mereka.
Ketahulah, melotot, mengancam dan membentak bisa membuat hati anak terluka.
Apalagi, mencubit dan memukul tubuhnya.
Tubuhnya bisa kesakitan. TAPI yang lebih sakit sebenarnya apa yang ada dalam tubuhnya.

Wahai Ibu, sebelum kita mengeluhkan anak2 kita, selayaknya kita bertanya apakah telah memenuhi hak-hak mereka?

Jangan-jangan kita marah kepada mereka, padahal kitalah yg sesungguhnya berbuat durhaka kepada anak kita.

Jangan-jangan kita mengeluhkan kenakalan mereka, padahal kitalah yang kurang memiliki kelapangan jiwa dalam mendidik dan membesarkan mereka.

Kita sering berbicara kenakalan anak, tapi lupa memeriksa apakah sebagai orangtua kita tidak melakukan kenakalan yg lebih besar.

Kita sering bertanya bagaimana menghadapi anak, mendiamkan mereka saat berisik dan membuat mereka menuruti apa pun yg kita inginkan, meskipun kita menyebutnya dengan kata taat. Tetapi sebagai orangtua, kita sering lupa bertanya apakah kita telah memiliki cukup kelayakan untuk ditaati.

Kita ingin anak2 mengerti keinginan kita, tapi tanpa kita mau berusaha memahami pikiran anak, kehendak dan jiwa mereka.

Ketahuilah, salah satu hak anak-anak yg harus ditunaikan orang tuanya adalah memberinya kasih sayang sebagaimana yg dicontohkan oleh Rasulullah. Bagaimana Rasulullah bercanda dgn anak2, memberi pengertian kpd mereka, juga mendoakan mereka. Dan kisah Rasulullah memendekkan solat saat mendengar tangis anak dan memanjangkan sujudnya saat cucu2 beliau menaiki punggungnya.

Tentang mencintai anak, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda,

"Cintailah anak-anak dan sayangilah mereka. Bila menjanjikan sesuatu kepada mereka, tepatilah. Sesungguhnya yang mereka ketahui hanya kamulah yang memberi mereka rezeki." (HR. Ath-Thahawi).

Pada sebuah kisah yg lain diriwayatkan pula dlm sebuah hadist,

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ : جَاءَتْنِى مِسْكِيْنَةٌ تَحْمِلُ ابْنْتَيْن لَهَا، فَأَطْعَمْتُهَا ثَلَاثَ تَمْرَاتٍ، فَأَعْطَتْ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا تَمْرَةً وَرَفَعَتْ إِلَى فِيْهَا تَمْرةً لتَأَكُلهَا، فَاسْتَطْعَمَتْهَا ابْنَتَاهَا، فَشَقَّتِ التَّمْرَةَ الَّتِى كَانَتْ تُرِيْدُ أَنْ تَأْكُلَهَا بَيْنَهُمَا، فَأَعْجَبَنِى شَأْنَهَا، فَذَكَرْتُ الَّذي صَنَعَتْ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم فَقَالَ :

إِنَّ اللهَ قَدْ أَوْجَبَ لَهَا بِهَا الْجَنَّةَ، أََوْ أَعْتَقَهَا بِهَا مَنَ النَّارِ .

رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Dari Aisyah radiyallahuanha pula, berkata: Aku didatangi oleh seorang wanita miskin yang membawa kedua anak gadisnya, lalu aku memberikan makanan kepada mereka itu berupa tiga biji buah kurma. Wanita itu memberikan setiap sebiji kurma itu kepada kedua anaknya, sebuah seorang dan sebuah lagi diangkatnya ke mulutnya hendak dimakan sendiri. Tiba-tiba kedua anaknya itu meminta supaya diberikan saja yang sebuah itu untuk mereka makan pula lalu wanita tadi memotong buah kurma yang hendak dimakan itu menjadi dua buah dan diberikan pada kedua anaknya. Keadaan wanita itu amat mengherankan aku, maka aku beritahukan apa yang diperbuat wanita itu pada kedua anaknya. Keadaan wanita itu amat mengherankan aku, maka aku beritahukan apa yang diperbuat wanita itu kepada Rasulullah saw. kemudian beliau bersabda:

"Sesungguhnya Allah telah mewajibkan untuk wanita itu masuk surga karena kelakuannya tadi, atau Allah telah membebaskannya dari api neraka."
(HR Muslim)

Hadis sahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari, hadis no. 1329; Muslim, hadis no. 4763; al-Tirmizi, hadis no. 1838; Ahmad, hadis no. 22926, 23433, 23470, 24167 dan 24866.

Sekarang... marilah bercermin, apa yg sudah kita lakukan terhadap anak-anak kita?

Sudahkan kita memanjangkan sabar dan melapangkan maaf dalam mendidik dan merawat buah hati kita?

Sudahkan kita memberi kebahagiaan kpd mereka dgn menyapa ruang jiwanya, menyediakan punggung kita sebagai pelana untuknya, agar terpenuhinya kebutuhan psikis mereka n menjadikan mereka tumbuh sbg pribadi yg bahagia, kokoh dan kuat?

AKAN TETAPI wahai Ibu...
Itu bukan berarti kita tidak boleh punya perasaan kecewa, sedih, capek, dan pusing menghadapi anak-anak. Perasaan2 negatif terhadap anak itu wajar. YANG JADI PERHATIAN, bagaimana menyalurkannya shg tak sampai menyakiti anak-anak. BAGAIMANAPUN kita bukanlah orang tua malaikat.  Maka yakinlah anak kita pun bukan anak malaikat yg bisa selalu baik dan menyenangkan. Maka maklumilah tingkah polah anak-anak kita krn mereka sedang berproses.

Cobalah sekali-kali tengoklah wajah anak anak yg telah tertidur. Cobalah untuk mengusap-usap kepalanya, keningnya dan tak lupa wajahnya. Sentuhlah dengan perasaan yg tulus. Dan lihatlah, alangkah sedikit yang telah kita lakukan. Masih banyak kelalaian dan kealpaan kita thdp anak anak kita. Padahal kitalah yang akan dimintai pertanggungjawaban. Kitalah yang akan ditanya di hari kiamat nanti.

Astaghfirullahal 'adzim....

Semoga Allah mengampuni kedzaliman kita...
Semoga pula Allah mengampuni keangkuhan kita kepada anak-anak kita sendiri....

Jangan pernah berharap akan disayangi oleh anak anakmu... tetapi engkau tak pernah menanam cinta dan kasih sayang di hati mereka...

Jangan pernah engkau berharap akan dirindukan oleh anak2 disaat tuamu kelak... tetapi engkau tak pernah punya waktu untuk sekedar mendengar celotehan mereka dan tertawa bersama mereka....

Kurniaty Prayuni K.
Semarang, Desember 2015

★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★★

Maafin umi zaid .. ziad .. maafin umi .. umi sayang kalian

#tulisan ini saya save untuk menjadi pengingat diri yang masih sangat lemah ini. Ya allah ...

Biar Tak Ada Luka

'Lidah tak bertulang'

Begitulah istilah yang mungkin sangat sering kita dengar. Dan menurut saya, istilah tersebut memiliki makna betapa mudahnya kata terlontar dari sebuah mulut. Begitu lebih kurang yang saya pahami.

Pernah menjadi anak dan saat ini telah menjadi orang tua, membuat saya sedikit banyaknya menjadikan pembanding pengalaman hidup yang telah saya lewati dengan pengalaman hidup anak-anak yang akan saya ukir nanti. Tentunya semua terjadi karena ada rasa tidak ingin melakukan keteledoran yang sama dengan apa yang mungkin dulu pernah dilakukan oleh orang tua kita. Keteledoran seperti apa? Salah satunya keteledoran dalam bersikap dan berucap.

Mungkin sudah sangat sering kita baca dan temui bahwa dalam membesarkan dan mendidik anak, hal pertama yang harus kita sadari adalah bahwa anak merupakan manusia, sama seperti kita. Ketika kita memiliki hal yang tidak disenangi, anak pun demikian. Ketika kita menyenangi sesuatu, maka anak pun memiliki kesenangan terhadap sesuatu hal.

Suka/senang atau tidak suka/senang ini, biasanya bisa terlihat ketika seorang ibu sedang berselisih paham dengan anaknya. Poin utamanya bukan soal perbedaan pemahamannya. Namun alur yang tercipta dalam ritme ceritanya. Dan setiap individu ibu dan anak memiliki cara yang berbeda di masing-masing keluarga. Ada ibu yang memilih jalan diam ketika berselisih pendapat dengan anaknya. Ada anak yang keras kepala dalam menanggapi pendapat orang tuanya. Macam-macam. Dan saya sangat meyakini bahwa setiap keluarga mempunyai karakteristik komunikasi masing-masing.

Karakteristik komunikasi inilah yang seringnya tidak disadari oleh seluruh anggota keluarga. Misal seperti keluarga saya. Ada sebuah kebiasaan adu argumen yang cukup alot dan berlangsung panas ketika terjadi perbedaan pendapat. Sementara di keluarga suami saya perbedaan pendapat di tanggapi dengan santai tanpa kealotan. Dan pola dari keluarga saya dan suami ini masing-masing menjadi karakteristik. Jika disederhanakan, keluarga saya karakter keras, keluarga suami karakter lunak.

Entah saya saja yang berfikir tentang hal ini. Bagi saya, sangat penting menyadari pola komunikasi dan karakteristik keluarga kita masing-masing. Kenapa? Agar ketika terjadi sebuah situasi dimana terdapat permasalahan yang cukup runyam, kita, masing-masing anggota keluarga bisa menyikapi tanpa harus berlebihan dan fokus pada solusi. Bukan malah adu argumen atau malah merasa pendapat tidak diakomodir.

Ngomong-ngomong soal pola dan karakteristik komunikasi, tampaknya bagi kita yang masih berstatus orang tua muda bisa memulai dari sekarang dalam menciptakan pola dan karakteristik komunikasi keluarga kita. Misal, pola seperti apa yang akan kita terapkan ketika anak-anak menunjukan sikap yang kurang baik. Atau pola komunikasi seperti apa yang akan kita perkenalkan kepada anak-anak ketika anak-anak dihadapkan dalam sebuah pilihan. Termasuk pola-pola lain terkait komunikasi, baik komunikasi verbal ataupun non verbal.

Dalam keseharian, hal yang biasa terjadi adalah, ibu mengambil peranan sebagai 'toa' buat anak-anak. Dan ayah sebagai pemegang toa nya. Maksudnya. Ibu yang memiliki suara yang lebih nyaring, sedangkan ayah cukup sebagai pengomando saja. Ketika kita memilih sebagai toa, disinilah kita harus berhati-hati. Bagaimana suara yang kita hasilkan jangan sampai menggoreskan luka di hati anak-anak kita. Luka yang seperti apa? Seperti menghujat, menghakimi atau pun memberi tekanan berupa perbandingan-perbandingan. Karena balik lagi seperti yang saya sampaikan di atas. Anak adalah manusia seperti kita. Ketika kita tidak menyukai dihujat, makan demikian puka dengan anak.

Jika memang tak sanggup menjadi orang tua, cukuplah doa sebagai kekuatan utama. Hingga diam dalam cinta menjadi pilihan kita, biar tak ada luka.

Optimisme vs Takabur

Minggu, 27 Desember 2015

★★Optimisme vs Takabur★★

Akhir-akhir ini saya sering mentok ide. Selain karena faktor berkurangnya intensitas menulis, saya juga kekurangan intensitas membaca. Jangankan membaca buku, membaca hikmah kehidupan pun akhir-akhir ini sering tak saya lakukan. Ya, memang beginilah jika hidup tak lagi 'dirasa' bermasalah. Namun sebaliknya, ketika hidup kita sedang disoroti Allah dengan diberikan sedikit masalah, maka naluriah, ada proses berfikir yang kita lakukan dalam menghadapi masalah tersebut. Proses berfikir itulah yang nantinya akan menelurkan buah fikir atau bisa disebut hikmah.

Saat ini, beberapa hal yang sedikit menantang dalam hidup saya satu persatu mulai ditunjukan arah tujuannya. Mulai dari status pekerjaan suami, status studi suami hingga kejelasan keberangkatan saya dan anak-anak menyusul suami ke tempat studinya.

Sejujurnya dan seharusnya, saya belum bisa tenang sampai akhirnya urusan adiministrasi saya dan anak-anak selesai. Namun entah mengapa saya jadi merasa adem ayem atau lebih tepatnya diberi ketenangan oleh Allah. Saya berharap ketenangan ini memang sebagai bentuk optimisme ya. Bukan sebaliknya, bentuk ketakaburan (naudzubillah). Dua hal ini memang tampak berbeda. Tapi jika diaplikasikan, wujud optimis bisa saja berubah takabur atau sebaliknya. Lalu apa yang membedakannya?

Pertanyaan itulah yang tampaknya ingin dititik tekankan suami kepada saya. Apakah karena saya terkesan pesimis atau kenapa?

Jadi ceritanya, ini kali keduanya saya ditinggal pergi oleh suami untuk studi. Pertama kalinya saat usia pernikahan kami masih 8 bulan. Suami studi master di negri Paman Sam. Rencana terus berganti, dari awal ketika kami masih berstatus tunangan, hingga sampai akhirnya saya positif hamil baby kembar. Jadilah rencana akhir, saya dan suami harus LDR (Long distance Relationship).  Dan kemudian saat ini, dimana saya untuk yang kedua kalinya harus berpisah dari suami. Sekitar 6 bulan suami harus memulai perkuliahan doktor nya tanpa saya dan anak-anak karena faktor dana tunjangan keluarga yang baru mengucur di bulan ketujuh (suami saya memperoleh beasiswa dari LPDP kementrian keuangan).

Ada beberapa hal yang harus saya persiapkan. Namun jujur, saat saya berdiskusi dengan suami mengenai keiikutsertaan saya dalam mendampingi studinya kali ini, memang ada nada pesimis yang saya lontarkan. Dan saya sangat menyadari bahwa sikap saya ini merupakan salah satu faktor yang ada kaitannya dengan masa ketika suami studi masternya dulu. Selain itu, ada pemikiran dimana saya tidak mau terlalu berbesar hati untuk bagian hidup yang belum tentu disuratkan sebagai garis takdir saya.

Di poin inilah saya sedang diuji. Bagaimana saya harus tetap optimis bahwa Allah mengizinkan saya dan anak-anak mendampingi suami studi doktoral nya. Disisi lain saya harus tetap mempersiapkan diri bahwa kehidupan kedepan tidak ada yang tau bagaimana garisnya. Entah nanti visa, kesehatan, atau bahkan hal lain diluar kendali kita yang akan membelokan garis takdir ini. Rumit memang pola berfikir saya. Namun, sikap seperti ini saya rasakan sangat penting. Sikap dimana kita manusia harus mampu proporsional dalan mengelola optimisme sehingga optimis tersebut tidak berubah wujud menjadi takabur.

Sebagai manusia saya harus melakukan ikhtir fisik berupa kelengkapan dokumentasi dan prosedur untuk keberangkatan. Dan sebagai hamba Allah saya pun harus mampu menata hati agar proses hidup yang saat ini sedang dan akan saya lalui merupakan anugrah dari Allah. Dan apabila Allah berkehendak membelokannya, bisa saja apa yang saya persiapkan ini mental. Apakah saya siap? Lalu, apa yang harus dilakukan agar optimis tak berubah takabur? Menurut saya pasrah dan menyerahkan diri pada Allah lah dengan senantiasa berdoa dan berdoa agar Allah memberikan kesempatan kepada saya untuk bisa belajar mengitari bumi Allah yang luas dan kaya ini menjadi satu-satunya tindakan yang harus konsisten saya lakukan.

Inilah perenungan saya. Untuk satu sisi hidup saja kita manusia tak mampu mengotak atiknya. Apalagi untuk semua sisi kecuali atas izin Allah. Dan semoga saya dijauhkan dari rasa takabur.

Terimakasih suami, yang senantiasa memberikan saya kesempatan untuk memetik hikmah.

Semoga segala urusan kita lancar.

Jika Allah izinkan saya hidup lama, maka izinkan saya untuk menjadi manusia yang bermanfaat. Jika hidup saya tak berlangsung lama, tunjukanlah cara yang tepat agar saya bisa menjadi bermanfaat.

Payakumbuh, 27 Desember 2015

Selamat Hari Ibu Ma...

Selasa, 22 Desember 2015
Lagi heboh ya hari ini dengan testimoni. Kali ini bukan testimoni barang dagangan, tapi testimoni tentang ibu masing-masing. Betul betul betul ...? :)
Testimoni saya apa? Hmmmm apa ya... heu. Jujur ga tau harus nulis testimoni apa. Bagi saya mama ya mama. Baik atau buruknya, tetaplah mama. Yang pasti air mata akan menetes jika berjauhan dengannya. Rindu akan membuncah saat hati tak lagi dalam kondisi suka. Udah itu aja.
Saya memang terlalu buruk dalam mengingat kebaikan mama. Karena menurut saya, apa yang dilakukan mama memang seharusnya hal yang harus dilakukan oleh seorang ibu. Ah mama, maafkan anakmu yang tak bisa berkata manis seperti halnya orang-orang yang tengah mama nonton di televisi. Maafkan juga anakmu yang belum bisa mewujudkan mimpi dan harapan mama. Bahkan sering sekali anakmu ini melakukan hal yang menurutmu kurang tepat. Ah sudahlah, maafkan anakmu yang keras kepala ini mama.
....... Bagiku bahasa diam saat ini lebih indah ma. Jika tahun-tahun terdahulu selalu kuukir kata dalam pesan elektronik untuk dikirimkan kepadamu. Namun saat ini ku lebih memilih tuk berucap dalam diam. Kenapa? Karena malu ini terlalu besar ma. Malu tak bisa menjadi sesempurna yang mama harapkan.
Banyak perbedaan ya ma antara mama dan aku. Namun aku yakin perbedaan yang tak jarang berujung konflik ini tak mengurangi rasa cinta mama padaku. Karena perasaan yang dulu tak bisa kuraba itu sekarang bisa dengan nyata kurasakan setelah aku menjadi seorang ibu. Dan benar saja, cinta ibu itu terlalu besar dan kuat untuk dihilangkan dan dikikis.
Ma, testimoni singkat ini biarlah menjadi catatan sejarah saja ya ma. Tak perlu dibacakan. Karena indah hidup hari ini belum tentu kita jumpai dihari esok. Jadi biarlah tulisan ini hadir ketika esok memang butuh energi indah dari tulisan ini, meskipun hanya bisa menghibur sedikit dari hidup mama. Jikapun tak pernah dibaca, biarkanlah semua menjadi doa.
Semoga mama menjadi ibu yang bahagia dunia akhirat. Maafkan anakmu yang mungkin pernah berkata dusta, keras kepala dan tak mendengar kata. Semoga mama diberikan kehidupan yang barakah dan berakhir khusnul khatimah. Semoga mama didekap penuh cinta olehNya ... Sang Maha Pecinta. Hingga akhirnya kita dipertemukan di surga.
Ah.. semakin kutulis kata, semakin hati ini tertata dalam air mata, tergerus haru ma. Tak tau harus berkata apa karena 27 tahun ku bersamamu terlalu complicated dan tak bisa dijabarkan dengan detail.
Terima kasih mama ... doamu sangat berarti bagiku ...
Payakumbuh, 22 Desember 2015
Dari anakmu

Hari Ibu

Tepat di 'Hari Ibu', suamiku kembali berjuang demi setitik ilmu untuk mengarungi samudra kehidupan kami. Dan tepat hari ini saya (kembali) sendiri meski tak dalam waktu yang lama (in sya allah).

Ah apalah saya ini, hanya remah2 dedak rendang ... hehehe. Jujur saya tengah tak mau bersedih-sedih, meski memang, mengingat jasa mama itu akan membuat rasa haru makin membuncah. Dan meski juga saya tak pernah tau perjuangan real mama seperti apa, at least saya bisa membayangkan perjuangan macam apa yang telah dilalui mama setelah saya sendiri  menjadi ibu untuk anak-anak saya.

Satu hal yang ingin saya bahas saat ini adalah perihal hubungan ibu dan anak. Setuju atau pun tidak, menurut saya hubungan ibu dan anak itu unik. Dan lebih spesifik lagi hubungan antar ibu dengan masing-masing anaknya lebih unik lagi. Hanya ibu yang tau beda dari cara perhatian yang diberikannya kepada masing-masing anaknya. Sementara para anak (tampaknya) tidak akan pernah tau beda perhatian ibu kepadanya dengan saudara-saudaranya yang lain. Meskipun rumit, tapi rasa 'kasih dan sayang' seolah memberikan kesederhanaan gambaran akan perhatian seorang ibu kepada seluruh anaknya. Tak peduli dengan cara seperti apa. Layaknya anak tak ingin dibandingkan dengan anak lain, begitu pula ibu. Ibu tak akan pernah ingin anak nya membandingkan cara yang telah dia berikan, karena cara itu, tercipta natural tanpa direkayasa. Begitu juga kasih, sayang dan cinta ibu ada tanpa diminta.

Ah bicara apalah aku ini. Anak kemaren sore.

Selamat hari Ibu ... 20 Desember 2015

Speech Delay (my experience)

Sabtu, 19 Desember 2015

★★ SPEECH DELAY (Lagi)★★
KETERLAMBATAN BICARA
Sumber: putrihasma.blogspot.com

Memiliki batita usia 2 tahun 5 bulan lebih namun belum bisa berbicara komunikatif? Yap, saya salah satu orang tua yang diamanahi anak dengan kemampuan verbal berkembang agak sedikit lambat.
Saya tidak mengatakan mereka belum bisa bicara. Anak2 hanya belum mampu memproduksi kalimat sederhana. Dan mereka juga belum mampu mengekspresikan keinginan dalam bentuk kalimat sederhana. Namun saya bersyukur, meski tidak terlalu signifikan, perkembangan bahasa anak2 perlahan menunjukan kemajuan. Kata yang tadinya tidak begitu jelas pengucapannya, sudah terdengar fasih. Selain itu mereka sudah bisa memproduksi frasa yang terdiri dari 2 kata seperti, umi mau-oma udah-opa yuj (opa hayu) dll. Kemudian mereka juga sudah mampu mengerti berbagai macam instruksi dan mulai memahami situasi seperti contohnya, situasi saat ini dimana saya tengah sakit gigi dan saya tidak terlalu bisa banyak bicara dan bantu mereka.
Perkembangan kecil dan sederhana ini tentunya harus benar2 saya sadari, agar saya tidak terjebak (kembali) pada kondisi dimana saya depresi menghadapi anak2 dengan segenap keinginan mereka yg belum bisa diungkapkan dengan bahasa verbal. Nah, untuk meningkatkan kesadaran saya bahwa anak2 berkembang cukup bagus, maka saya coba tuliskan di page pribadi ini. Selain untuk keperluan pribadi, saya berharap pengalaman saya bisa sedikit membantu para ibu yang tengah khawatir dengan perkembangan anaknya.

Oh ya, sedikit info mengenai keterlambatan bicara. Hal yang perlu kita cermati sebelum mengkhawatirkan perkembangan bahasa si kecil adalah (saya coba poinkan ya)
1) cek pendengaran si kecil
Hal ini bisa kita lakukan sejak si kecil berumur 3 bulan hingga seterusnya. Salah satu cara untuk mengecek pendengaran si kecil yaitu dengan memberikan rangsangan berupa bunyi2an. Jika si kecil merespon bunyi tersebut, berarti bisa dikatakan tidak ada masalah dengan pendengaran si kecil. Nah, setelah si kecil makin bertumbuh, bisa dicek dengan memanggil namanya atau menstimulus dengan musik kesukaannya.
2) faktor prematuritas
Bagi bayi yang terlahir prematur, bisa menjadi salah satu faktor si anak mengalami keterlambatan bicara. Namun, tidak semua anak prematur ya mengalami hal ini :)
3) cek riwayat genetis
Keterlambatan bicara bisa terjadi karena faktor genetis. Coba tanyakan pada pasangan anda, apakah ketika kecil, masing2 pasangan memiliki riwayat keterlambatan bicara. Jika ya, kita bisa bersiap mental untuk menghadapi anak yang mengalami keterlambatan bicara juga
4) cek levelnya
Keterlambatan bicara itu ada berbagai macam tingkatannya. Anak baru akan dikatakan mengalami 'speech delay / keterlambatan bicara' jika anak pada usia lebih dari 3 tahun
●kurang merespon lingkungan dengan baik
●produksi kata belum terlihat
●masih bubbling seperti bayi
●tidak merespon instruksi dengan baik

Jika sebelum usia 3 tahun anak terindikasi 4 ciri di atas, selain terus melatih anak, tidak ada salahnya jika kita konsultasikan kepada dokter ahli agar kita bisa mengetahui kondisi perkembangan bahasa anak.

Demikian share pengalaman yang saya coba ingat dari berbagai macam sumber dan pengalaman saya langsung tentunya. Semoga bermanfaat.. :)

Si kembar: kak Ana dan Ani

Rabu, 02 Desember 2015

1 DESEMBER 1986

gak ada yang nyangka gue bakal lahir kembar sama ini anak........
sampe gue hapal betapa resek nya ini anak....
1) waktu gue tidur pules loe tarik kaki gue sampe gue jatuh dari kasur.
2) waktu dari kecil sampe kuliah tiap beda pendapat akhirnya jambak-jambakan terus ngakak bareng kayak orang gila
3) Inget suka rebutan nonton tivi gara gara gue lebih suka nonton film horor dan loe sukanya nonton barbie.

4) Inget gue mainan mobil-mobilan dan loe mainan pasar pasaran

segala yang setiap mau kita lakukan berdua pasti kita pake adat bertengkar dulu baru kita kerjain bersama..

Gue bangga bisa merasakan bertengkar sama loe
gue bangga bisa merasakan berkelahi sama loe
Tiap kita bertengkar berdebat bikin suasana jadi hidup kagak sepi kayak kuburan..

Kita sekarang udah sama-sama menikah
udah punya kehidupan masing-masing.
Gue yang selalu cemburu tiap suami gue ngobrol sama eloe karena gimanapun juga suami gue adalah mantan pacar loe..

dan loe yang selalu cemburu tiap suami loe ngobrol sama gue

Persaudaraan kita memang unik ya say.
Penuh dengan pertengkaran perdebatan perkelahian tapi itu lah yang membuat kita berdua semakin saling meyayangi.

Seliana Muichtar Lubis adalah musuh yang sangat gue sayangi. Musuh yang sangat gue banggakan.

Orang-orang gak akan mengerti kenapa kita kembar kok suka bertengkar karena mereka gak ngerti bahwa ANA dan ANI adalah 2 individu yang bebas seperti burung yang bebas terbang dilangit.

I LOVE YOU MY BEAUTIFUL ENEMY
HAPPY BIRTHDAY