MOM BLOGGER

A Journal Of Life

Menjadi Kindergarten Student di Amerika

Selasa, 04 September 2018
Alhamdulillah Zaid dan Ziad tahun ajaran ini udah jadi anak TK. Tidak seperti pendaftaran headstart (setara PAUD) 2 tahun lalu, kali ini saya jauh lebih tenang dan siap melepas ZaZi untuk bersekolah. Mungkin karena sudah terbiasa juga kali ya dengan ritme hidup disini dibanding 2 tahun lalu dimana saya masih difase adaptasi begitu juga dengan anak-anak.

Raut wajah ceria di hari pertama sekolah

Tak banyak hal yang perlu dipersiapkan untuk bersekolah TK disini. Cukup melatih kemandirian anak dalam mempersiapkan dirinya berangkat ke sekolah trus kasih tau deh kalo TK ga dianter Abi lagi, tapi pake School Bus. Dan alhamdulillah anaknya ready dan bahkan sangat happy plus excited. Ga berhenti-henti bilang 'excited' saat hari pertama masuk sekolah. Meski kadang terlihat mereka melamun dan sesekali bertanya "Abang sendirian Mi", "Umi ga ikut ke sekolah Abang?" Dan pertanyaan konfirmasi lainnya. 


Setelah hari pertama berlalu, alhamdulillah pertanyaan-pertanyaan konfirmasi pun hilang dan terjawab dengan sendirinya melalui pengalaman langsung hari pertama sekolah mereka.

Hmmm ... rasa-rasanya sudah lama juga saya tak menuliskan tentang si kembar di Blog ini. Memang saya pribadi tidak memiliki schedule khusus per tema untuk konten blog ini. Semua mengalir, sesuai mood dan ide tema tulisan yang muncul di kepala. Tadinya ingin seperti para blogger yang lain. Dimana hari Senin nulis tentang ini, Selasa nulis itu dan seterusnya. Tapi saya urungkan. Karena ternyata mood menulis saya jadi ga ngalir dan malah seringnya bikin mentok 😆😆😆

Berbicara perihal anak, setiap orang tua pastinya punya cerita emosi tersendiri dalam membersamai anak menapaki kehidupan mereka. Begitu juga dengan orang tua kita. Dan tak sedikit tentunya dari kita yang mengetahui perasaan terdalam dari orang tua kita, baik Ayah ataupun Ibu kita. Jika bisa dibilang, masih menjadi misteri yang tak akan terungkap bahkan hingga maut memisahkan (iya ga sih???🤔🤔🤔)



Kita hanya mampu menerka, oh Ibu saya sayang sama saya. Ayah saya pun mencintai saya. Mereka marah itu pertanda cinta. Bahkan khawatirnya mereka tergurat dalam raut wajah yang tampak marah. Tanpa kita bisa mengkonfirmasi langsung pada orang tua kita terhadap sebuah reaksi emosi yang mereka keluarkan. 

Misal, saya sampe sekarang ga pernah tau secara langsung apa yang membuat Mama saya beraut wajah cemas, cenderung kaya marah ketika mengetahui saya berkerudung ke sekolah? Saya hanya mampu menerka, sepertinya mama khawatir saya masuk aliran sesat. Mama khawatir saya berjilbab hanya main-main saja. 

Dan kekhawatiran itu bentuk ungkapan emosi yang disertai rasa sayang kan ... karena pasti setiap orang tua menginginkan anaknya memperoleh jalan hidup yang baik-baik saja. Amit-amit anak saya ikut aliran sesat jaringan teroris misalnya. Dan amit-amit lainnya. Tapi, diungkapkan ga? Untuk kasus saya ini, engga! 😆 Tuh misterikan???

Lagi nunggu school bus

Bagi saya, bahasa cinta orang tua terhadap anaknya merupakan sebuah teka teki yang tak memiliki jawaban pasti kecuali satu, cinta. Tak ada orang tua yang tak cinta kepada anaknya. Jika pun ada sebuah tindakan asusila kepada anak, tentunya ada faktor X yang melatarbelakanginya. Bahasan seriusnya yang lebih akademis sila Googling sendiri ya hehehe ...

Tulisan ini hanya sebuah opini dan berbagi pemikiran saya saja. Tak perlu disepakati, dan juga tak perlu diperdebati. Kata lainnya, ini tulisan curhatan 😔

Hal yang ingin saya ungkap hanyalah tentang sebuah misteri hubungan antara ibu dan anak, bapak dan anak. Dimana kesalahpahaman akan pasti bisa terjadi. Bahwa definisi cinta pun akan pasti jadi berbeda ... sesuai nanti bagaimana perjalanannya.

Contoh ...
Teman main sepeda 😆

Seperti seorang remaja yang merasa tak dicinta Ibu Bapaknya karena ditinggal bekerja. Sementara Ibu Bapaknya merasa, bekerja adalah bahasa cinta mereka untuk si remaja. Konflik memang mungkin belum akan langsung terbentuk di saat anak masih lah dini. Namun pola bisa kita lihat, jika mata batin kita mau melihat. Sehingga, dimasa remaja dimana karakter pemberontak menyertai perkembangan anak seusia itu, mulai mendramatisir keadaan sehingga pola yang tadi dipandang biasa oleh orang tua, tidak begitu adanya oleh sang anak. (Contoh versi sinetron amat 😆)

Contoh lain ...

Sebut saja pola komunikasi. Dimana kebiasaan sebuah keluarga dalam mengkomunikasikan, katakanlah perasaan, pemikiran, pengalaman, dan lain sebagainya akan berujung pada sebuah kisah. Jika saling menghargai dengan menghadirkan diri di setiap cerita anggota keluarga, maka akan menjadi kisah bahagialah dia. Namun jika setiap anggota keluarga menuntut untuk didengar tanpa ada yang menyiapkan telinga untuk mendengar, maka kisah pun akan terbentuk dengan jalan cerita yang berbeda. Bisa jadi sering muncul pertikaian, pertengkaran dan lain sebagainya karena antar anggota keluarga tak ada yang memahami satu sama lainnya.


Tak ada yang salah dengan sebuah ritme dan pola kebiasaan dalam sebuah keluarga. Bukan kemudian karena keluarga A berisikan anggota keluarga yang senang mendengar cerita lantas keluarga ini lebih baik. Bukan! Yang terpenting, ada cara yang kita tempuh untuk menjalani kehidupan rumah tangga bersama pasangan dan anak-anak dengan meminimalisir peluang konflik. Jika pun ada konflik, cukuplah menjadi sebuah pembentukan karakter diri dan keluarga sehingga lebih matang dikemudian. Bukan sebagai pemecah rasa cinta. Dengan kata lain, masing-masing keluarga tentu memiliki cara terbaik dalam menjalani 'cerita' sehingga alurnya berujung bahagia. Tentunya dengan definisi bahagia masing-masing. 

Keluarga dengan segenap anggotanya memang merupakan komunitas paling unik menurut saya. Hubungan pertalian darah justru membuat celah salah paham lebih terbuka lebar. Tak jarang para anggota keluarga gagal mendefinisikan bahasa cinta mereka. Sehingga yang muncul hanyalah prasangka. Jika dibuatkan peta emosinya, tentulah sangat variatif dan harus dibahas case by case. 

Anak TK yang doyan 'baca' buku
Doyan pake kaos kaki panjang 😆

Beranjak dari pengalaman pribadi saya sebagai seorang anak dan seorang ibu plus istri inilah muncul sebuah, katakanlah ide, untuk menuliskan apa-apa yang saya rasakan. Bukan untuk pembenaran akan kesalahan yang saya lakukan. Ataupun sebagai pengwajaran atas kekeliruan yang saya perbuat. Tapi cukup sebagai pengikat memori akan sebuah sejarah hidup di masa lalu, yang barangkali ketika disajikan kembali untuk anak dan cucu penerus generasi, bisa diambil hikmah atasnya. Sehingga teka-teki dan misteri hubungan orang tua dan anak ini tak lantas hanya berakhir praduga yang tak terkonfirmasi kebenarannya #halahbahasanya 😅

Jadi tulisan ini tentang apa sih?

Jujur, ungkapan pemikiran yang sebenarnya lebih kepada pengungkapan perasaan di tulisan ini muncul kemaren. Sesaat setelah saya dan Zaid 'bertengkar' dengan sebuah ujung mendrama lewat tangisan airmata. Dan hal ini kejadian kedua kalinya pasca usia mereka 5 tahun setelah sebelumnya saya mendrama dengan Ziad. 🤒🤒🤒😧😧😧


Bagi saya, perjalanan emosi yang tercipta disetiap rangkaian cerita kami sekeluarga saya percayai sebagai pembentuk karakter jiwa, baik untuk saya, pasangan saya, dan tentunya anak-anak saya. Misal saja perjalanan emosi dalan mengatasi konflik perbedaan pendapat. Jika saya tak berhasil menciptakan suasana nyaman dalam mengatasi perbedaan pendapat, maka saya harus bersiap di masa transisi mereka saat remaja kelak, saya akan kehilangan ruang dalam ruang diskusi anak-anak saya. Alih-alih mereka akan mendengarkan saran saya, yang terjadi justru mereka menutup rapat peluang bagi saya dalam menyampaikan pendapat terhadap sebuah keputusan yang akan mereka ambil. 

Apresiasi permintaan mereka
Yang minta difoto pas makan 🙄

Contoh lainnya. Sebut saja dalam usaha menghadirkan ruang dengar dalam keluarga. Sebagai anak yang memiliki perkembangan bahasa yang tertunda, saat ini ZaZi tengah berada dalam fase kecerewetan maksimal. Hobi bercerita dan berimajinasi. Jika ruang dengar tak tercipta kondusif di dalam keluarga baik untuk Zaid ataupun Ziad, maka jangan harap kebiasaan bercerita mereka akan bertahan lama. Bisa-bisa mereka membentuk atau mencari ruang dengar baru yang lebih nyaman, semisal bersama teman. Atau yang sekarang tengah marak banyak dari para remaja yang kehilangan ruang dengar mereka mencari kenyamanan bersama teman virtualnya melalui game online 😣😣😣

Kompleksitas pemikiran saya yang terkadang memburuk menjadi overthinking ini memang ingin saya optimalkan ke arah yang lebih positif. Saya juga tidak menginginkan diri ini menjadi orang tua protektif. Keseimbangan dalam bersikap tentunya perlu saya lakukan. Dengan tidak membatasi kreatifitas lingkup sosial anak-anak dan mengoptimalkan peran dan fungsi saya sebagai ibu, teman cerita, dan sahabat mereka.

Kreatifitas tanpa batas

Namun lagi-lagi keterbatasan diri membuat saya kadang berada di titik putus asa. Hanya mengadu pada Sang Kuasa jalan akhir yang bisa saya tempuh. Bahwa anak, adalah ikhtiar orang tua. Hingga dalam mendidiknya pun, ikhtiar harus selalu menyertai bersama doa. Bukan untuk sebuah kesuksesan di mata manusia melainkan keberhasilan melewati ujian di hadapan Allah.

Jadi, tatkala anak-anak lebih percaya akan kata teman dan gurunya, saya hanya bisa mencari cara untuk bisa mengambil alih hati dan pikirannya seraya berdoa semoga apa-apa yang sampai kepada anak-anak saya adalah hal-hal yang baik saja. 

Ketika teman menjadi panutan
Maka didiklah temannya seperti kita mendidik mereka

Ya, saya pribadi pernah berada pada posisi dimana apa yang dikata orang tua selalu tertolak di dada. Bukan membangkang, bukan pula membantah. Saya hanya tidak setuju dengan apa yang disampaikan orang tua saya. Ada hal lain yang lebih 'make sense' bagi saya kala itu. 

Belajar dari 2 posisi inilah saya coba untuk bersikap lebih tenang ketika anak-anak menyanggah apa yang saya sampaikan. Karena ketika saya memaksakan, hasilnya malah akan membuat mereka semakin keras dan tak paham dengan apa yang kita maksud. 

Harap saya, semoga mereka nyaman dengan ruang diskusi dan ruang dengar yang tengah saya dan suami coba ciptakan ini 😟😟😟

Salah satu cara yang kami tempuh
Agar tercipta keseimbangan pengaruh keluarga, teman dan lingkungan dalam pembentukan karakter

Mengerti ataupun tidak, tulisan ini memang sebagai refleksi saja buat saya pribadi. Yang sedikit butuh mengelus dada sembari berkata 'sabar' di 10 hari pertama sekolahnya ZaZi sebagai anak TK. 

Kebiasaan baru mereka yang jadi senang berteriak, bercanda berlebihan tanpa mengindahkan kenyamanan orang lain, respon yang lambat terhadap sebuah seruan atau permintaan tolong. Seolah 'merampas' kebiasaan baik yang sudah ada sehingga mereka terkesan mengalami kemundurun hanya dalam hitungan hari. Tapi saya coba berfikir positif dan mencari celah untuk bisa mengimbangi. Caranya? Salah satunya ya introspeksi diri 😥

Jika memang ini bagian dari tahap perkembangan, saya berharap tak ada hal yang luput dan menjadi sebuah kebiasaan buruk. Prinsip saya dan suami hanyalah 'luruskan jika ada yang bengkok' dengan cara yang baik. Semoga saya dan suami dijaga dalam kesabaran. Terlebih sebentar lagi kami akan kehadiran anggota keluarga yang baru. Semoga dimampukan Allah untuk menjalani amanah ini. Karena ladang amal kami adalah mereka. Maka ujian pun akan datang dari mereka. Semoga kami dan segenap orang tua yang tengah 'pusing kepala' menghadapi amanah titipan Allah ini diberi kesabaran dan kemampuan. Aamiin ...

Menciptakan lingkungan nyaman
Tak hanya untuk anak sendiri
tapi juga untuk teman-teman mereka 

Ya! Sedikit tantangan hidup di negri barat dimana anak dan orang tua memiliki norma yang berbeda dari kita orang timur. Apalagi saya orang Minang. Dimana dalam bertutur saja ada 4 kata yang harus dipakai. Kata mendaki kepada yang lebih tua dengan hormat dan santun. Kata menurun kepada yang lebih muda dengan lembut dan sayang. Kata mendatar kepada seusia dengan saling menghargai. Dan kata melereng kepada suami dan keluarganya.

Untuk nilai-nilai kehidupan saya memang masih menganut paham konvensional. Saya masih membungkukkan badan ketika melewati kumpulan orang-orang. Saya pun masih mengecup punggung tangan setiap orang tua yang saya temui. Dan masih melempar senyum sungkan kepada orang asing yang lebih tua atau terlihat serumpun negara.

Maka, salam salut saya kepada orang tua Indonesia yang mendidik dan membesarkan anaknya di Amerika yang masih bisa mempertahankan nilai dan norma ketimuran kita. Tanpa merampas kebebasan anak-anak kita dalam mengeksplor kehidupan di sebuah negara bebas, tapi tetap terjaga dalam kehidupan serba bebas tanpa batas.

Segitu saja dulu ya curhatan saya pasca anak-anak menjadi kindergarten student. Selagi kita masih menjaga Allah ... maka Allah pun pasti menjaga kita ... Yakinlah! In sya Allah ... 😊😊😊

Columbus, 3 September 2017

Nb: foto dan video entah nyambung entah ga ... anggap aja biar tulisannya ga monoton huruf aja .. 😅😂
Post Comment
Posting Komentar

Komenmu sangat berarti bagiku 😆
Makasi ya udah ninggalin komen positif ... 🤗