MOM BLOGGER

A Journal Of Life

Ngobrol Tentang Sekolah Zaid dan Ziad

Kamis, 21 Februari 2019
Kembali menulis tentang anak setelah sekian lama memutuskan 'off'. Kenapa? Karena berbagai macam alasan 😄. Salah satu alasannya karena belum siap mental menerima berbagai macam masukan dari pihak luar. Cemen ya alasannya 😅

Homeschooling atau sekolah formal

Jadi memang perihal anak, dahulu kala menjadi hal yang sangat menarik bagi saya untuk 'diumbar' ke khalayak melalui dunia media sosial. Bukan karena apa-apa. Karena memang saya ga punya rutinitas lain yang bisa dibagi selain rutinitas 'kebersamaan' dengan anak. Ditambah saat itu media sosial menjadi salah satu 'tempat ternyaman' saat itu untuk mengungkap segala jenis perasaan. Terutama buat ibu-ibu muda alay seperti saya. Yang membesarkan si kembar sendiri tanpa kehadiran fisik suami. Syediiiiihnya 😂.

Lalu sekarang? Aneka pengalaman dan perjalanan hidup mengantarkan saya untuk sedikit beralih menjadi pribadi 'introvert' perihal anak. Paling tidak saya memilih tertutup di dunia maya. Salah satunya dengan membatasi postingan yang membahas anak-anak baik melalui foto ataupun caption. Membatasi bukan berarti tidak pernah posting tentang anak sama sekali ya 😂. 

Pilihan membatasi diri ini bermula dari kegelisahan saya akan karakter pribadi saya. Dimana saya adalah tipe individu yang ketika memperoleh pujian maka akan terhenti pada capaian yang dipuji itu saja, dan apabila memperoleh kritikan, maka akan mundur melanjutkan capaian yang telah direncanakan. Karakter seperti inilah yang saya endus agak berdampak buruk pada perjalanan hidup saya. Karena daya juang bisa menurun dan keflematisan saya akan menggiring saya pada karakter 'cepat puas'.

Di satu sisi saya bersyukur dengan karakter macam ini. Paling tidak saya bisa terhindar dari yang namanya karakter ambisius. Dimana, si ambisius yang tidak terkontrol akan menggiring pada hal negatif berupa ketertekanan.

Apapun karakter itu, intinya sih gimana kita ngontrolnya ya. Tsah!

Lalu apa kabar si kembar ZaZi?

Nah ini yang mau saya tuliskan.

Anggap saja tulisan ini sebagai refleksi diri seorang saya, di usia anak kembarnya yang telah beranjak ke angka 5. Masya Allah ...

Saya tidak bisa lagi mengingat dengan jelas, tulisan dengan tema apa saja yang pernah saya goreskan di blog ini terkait si kembar. Yang pasti tulisan berisi curhatan barbar saya yang stressful mendampingi sikembar hingga tulisan yang berisi tips mendidik anak yang sok-sokan saya buat kayanya ada deh di blog ini 😂. Bahkan ada tulisan yang isinya cuma se paragraf kalo saya ga salah, saking saya desperado sama diri sendiri dalam hal mendidik anak 😆 trus ga tau harus menumpahkan emosi negatif sehingga berujung pada kedipan kursor yang menghasilkan tulisan singkat pelepas lelah jiwa.

Masya Allah ... mengingat kembali masa-masa 'indah' itu rasanya saya pengen mewek sekarang 😣. Ga nyangka bakal berada di fase 'mempersiapkan' si kembar untuk menjadi kakak bagi adik bayi mereka. In sya Allah ...

Tuh kan tulisan prolog nya jadi kepanjangan yaks 😂😂😂 Begini nih kalo udah nulis tentang anak 😆

Okeh, di lima tahun usia Zaid dan Ziad ini, saya mau brainstorming saja dengan teman-teman yang baca tulisan ini (kalo ada 😂), perihal pilihan pendidikan untuk anak: di sekolah atau di rumah?

Konteksnya pendidikan Zaid Ziad. Jadi akan dibahas perihal isi otak saya dan suami terkait pilihan pendidikan untuk si kembar.

Jadi kemaren, ketika piknik dengan teman-teman Indonesia disini, salah seorang teman nyeletuk ke saya ketika kami membahas soal sekolah anak.

"Mba Putri homeschooling aja. Situ kan S.Pd ..."

Yup! Saya dan suami sama-sama berlatarbelakang Pendidikan keguruan. Logikanya, cukuplah untuk bisa menjelma (kaya siluman aje) jadi guru buat anak sendiri. Tapi praktiknya ga semudah logika kan ya ... 😆

Saya dan suami sejujurnya sudah sejak anak-anak berusia 2 tahun tak putus membincangkan perihal pilihan pendidikan anak ini. Berbagai macam jenis pilihan pendidikan seperti sekolah alam, sekolah Islam terpadu hingga homeschooling masuk dalam bahasan-bahasan saya dan suami. 

Alhamdulillah, mengenyam hidup di Amerika membuat saya dan suami sedikit terbantu dan terbuka mata dan pikiran dengan sistem pendidikan disini. Paling tidak, kekhawatiran saya perihal biaya pendidikan usia dini yang luar biasa 'najong' di Indonesia bisa teratasi sementara. Sembari belajar 'adem'nya guru PAUD disini menerapkan metode yang agak mirip metode Montessori ini, anak-anak pun terbantu perkembangannya yang sempat mengalami keterlambatan dalam kemampuan verbal.

Dua tahun didampingi guru-guru headstart (sejenis PAUD di Indonesia), saya pun terbuka mata untuk melihat lebih teliti dan mendalam kebutuhan Zaid Ziad dan kemudian mengenyampingkan 'obsesi' pribadi saya terkait pendidikan anak.

Merunut dari pengalaman menerapkan berbagai metode bermain untuk anak usia dini oleh diri sendiri, kemudian mendidik anak yang diperbantukan guru-guru headstart anak-anak, membawa saya pada sebuah titik temu pendidikan yang cocok untuk Zaid Ziad dalam konteks tempat. Di sekolah atau di rumah? Jawabannya? MIX.

Hakikatnya, pendidikan untuk anak-anak kita memanglah pendidikan campur-campur. Baik perihal lingkungan belajarnya maupun metodenya. Karena tidak ada kan lingkungan yang ideal plus metode yang sempurna? Semua saling melengkapi. Bahkan hal negatif pun diperlukan dalam pendidikan anak untuk memberikan sisi pembanding sebagai bagian dari kehidupan dunia nyata yang memang selalu terdiri dari dua sisi. Sehingga kurang bijak juga rasanya ketika saya terlalu khawatir dengan hal negatif dan memilih untuk menghindarinya. Anak seolah di border dari hal-hal negatif yang membuat mereka menjadi tabu akan hal tersebut. Sehingga membuat mereka menjadi rapuh.

Semisal perihal kekhawatiran saya tentang anak yang terkena kecanduan games. Karena tidak ingin anak kecanduan games, akhirnya saya tidak mengizinkan anak bergaul dengan anak lain yang suka ngegame. Alih-alih memberikan solusi lain untuk anak, larangan demi larangan justru membuat anak jadi penasaran dan backstreet. Sehingga ada baiknya mengkomunikasikan alasan kenapa games dilarang menjadi cara yang ditempuh ketimbang larangan saklek yang justru memancing tumbuhnya jiwa pemberontak anak. 

Jadi, untuk sementara ZaZi bakal terus memperoleh pendidikan formal di sekolah dengan syarat home education ga boleh berhenti dan saya dan suami sebagai orang tua harus selalu eling bahwa pendidikan anak adalah tanggungjawab kami.

Mari kita lihat saja ke depan, apakah akan ada perubahan pemikiran dan ZaZi bakal jadi anak homeschooling? Let's see ya. In sya Allah apapun itu semua pasti yang terbaik selama kita mengusahakan yang terbaik. Semoga Allah meridhoi. Aamiin.

Columbus, 2018


Post Comment
Posting Komentar

Komenmu sangat berarti bagiku 😆
Makasi ya udah ninggalin komen positif ... 🤗