MOM BLOGGER

A Journal Of Life

3 Alasan Ibu Si Kembar Boleh Marah

Selasa, 02 April 2019
Siapa yang ga pernah marah? Tampaknya semua manusia pernah marah ya. Bahkan anak kecilpun bisa marah dengan cara mereka sendiri. Ada yang marah dengan menangis, marah karena ga dikasih benda kesayangannya misalnya. Ada juga yang marah dengan ngambek karena ga jadi di bawa ke taman bermain favoritnya. Hihihi, macem-macem deh kalo anak kecil. Nah, gimana nih marahnya kita orang dewasa?


Marah sebagai reaksi alami dari dalam tubuh manusia atas sesuatu yang membuat hati gelisah dan bergemuruh memang merupakan suatu hal (emosi) yang biasa. Namanya juga reaksi alami, jadi ya wajar kan ada karena udah bawaan manusia alias sunatullahnya kalo manusia itu punya rasa marah.

Menurut orang-orang di dunia psikologi, marah itu  
"reaksi emosional akut yang ditimbulkan oleh sejumlah situasi yang merangsang, semisal ancaman, agresi lahiriah, pengekangan diri, serangan lisan, kekecewaan, atau frustrasi, dan dicirikan oleh reaksi kuat pada sistem syaraf otonomik, khususnya oleh reaksi darurat pada bagian simpatetik; dan secara implisit disebabkan oleh reaksi serangan lahiriah, baik yang bersifat somatis atau jasmaniah maupun yang verbal atau lisan". (Sumber disini). 

Ngerti ga? Ga! Hahahaha. Saya juga 😆. Gegara ngeliat banyak istilah. 

Tapi ya intinya marah itu ada rangsangan sebelum akhirnya ada serangan hihihihi. Rangsangannya bisa berupa ancaman, pengekangan diri, serangan lisan, kecewa, frustrasi. Sedangkan serangannya bisa berupa serangan lahiriah seperti memukul ataupun secara verbal lewat ucapan. Kebayang kan ya. Ya harus. Lha wong pada pernah marah semua wkwkwkwkwk ✌😆

Marah dalam konteks hubungan antara orang tua dan anak, tampaknya seperti sebuah lingkaran setan. Jika si A dibesarkan oleh orang tua yang pemarah, maka 90% si A akan tumbuh menjadi anak yang pemarah juga. Seperti yang dilansir media Republika tentang pewarisan sifat marah dari orang tua ke anak berdasarkan riset terbaru yang dipublikasikan dalam jurnal Development and Psychopathology, di Amerika Serikat. 

Jadi seperti ada mata rantai yang siap menurunkan marah sebagai sebuah tabiat, kebiasaan atau bahkan tradisi. Maka tak heran kalo banyak yang bilang marah itu genetis. 


Hmmm ... berdasarkan hasil riset di atas, marah genetis namun faktor lingkungan jauh memiliki andil lebih besar ketimbang faktor genetis itu sendiri. Tak peduli orang tua yang membesarkannya adalah orang tua kandung atau tidak, sifat pemarah akan bisa diturunkan.


Berhubung saya bukan pakarnya, tak usahlah kita terlalu membahas secara teoritis apakah marah itu genetis atau tidak. Sini sini sini ... Kita bahas saja apa yang kita rasakan (kita? Gue aja kali ... :P)

Polemik buat saya memang tentang marah ini. Nyaris sepanjang tahun 2014 hingga 2016 saya habiskan waktu untuk menggali apa penyebab saya marah. Memang 2 tahun bukanlah waktu yang spektakuler lamanya. Namun akan jadi spektakuler jika dalam 5 tahun masa keemasan anak-anak, hampir 50% nya saya 'nodai' dengan ma ma ma rah marah ... kata trio kwek kwek ... :'( hiks. 

Genetis? Bisa jadi. Karena memang saya memiliki Ayah yang tempramen dalam mendidik anak-anaknya. Ayah saya menurun dari siapa? Konon kata Papa, Kakek saya juga pemarah sehingga gelar beliau pun Dt. Rajo Marah (dan sampe sekarang saya ga tau ini bener apa ga #lol). Jadi?

Hubungan sebab akibat sepertinya menjadi hubungan yang pasti - saling mengaitkan kehidupan manusia. Misal, sebab Allah ciptakan manusia makanya ada kehidupan. Eh terlalu luas ya. Hmmm ... jika dikaitkan dengan hubungan orang tua dan anak seperti ini misalnya, sebab anak rebutan mainan makanya orang tua marah. Artinya yang menjadi penyebab adalah anak, yaitu anak rebutan mainan. Sehingga solusi yang harus kita temukan adalah bagaimana caranya agar anak tidak rebutan mainan?

Mem-break down faktor-faktor penyebab marah ini memang tidak segampang rumus KPK dan PBB di mata pelajaran matematika SD. Perlu tambahan ilmu donk di dalamnya sejenis ilmu psikologi anak. Hahahaha ... yang pada akhirnya memang mengantarkan kita pada rangkaian pembelajaran tiada henti. 

Yup!!! Menjadi orang tua artinya menjadi pembelajar sejati. Pembelajar seumur hidup, tiada henti! Biar kata kita kuliah S3 dibidang komunikasi, atau bidang pertanian, kenegaraan atau bidang lain diluar bidang anak-anak, tetap saja, ketika menjadi orang tua, ilmu wajib yang harus kita gali adalah ilmu terkait pengasuhan atau yang sekarang lebih dikenal dengan istilah Parenting. 


Berdasarkan pengalaman saya yang tentunya masih cetek ini, saya akhirnya memetik pelajaran dari perjalanan marah memarahi anak ini pada sebuah  kesimpulan bahwa saya merupakan ibu dan orang tua yang 'menghalalkan' memarahi anak. Marah yang seperti apa? Marah yang beralasan tapi bukan alasan  yang dibuat-buat.

🌷Marah saat anak tidak berhenti berantem

Banyak sekali faktor penyebab marahnya orang tua. Ditambah faktor internal semakin menjadi-jadilah pembenaran terhadap marah yang sudah mulai bergumul di dada. Dan saya termasuk orang tua yang disinilah tantangannya, untuk bisa memilah dimana marahnya kita kepada anak sebagai usaha meluruskan kesalahan, bukan sebagai pelampiasan kekesalan. Jadi alamiahnya, orang tua yang sedang banyak pikiran banyak masalah pasti akan mudah terpancing emosi. 

Alih-alih memikirkan step by step meredam emosi saat anak mulai bertingkah, yang ada kepala semakin terasa panas. Apalagi seperti saya yang harus menghadapi anak kembar #curhat 😆. Jadi hal yang paling saya ingat kalo sudah dalam kondisi darurat seperti ini adalah, fokus pada kesalahan anak. Bukan pada kepelikan situasi kondisi. Sekali, dua kali dan tiga kali diberitahu mereka masih belum paham, saya mulai tenangkan diri dengan kalimat penutup "Solve your problem guys!"

🌷Marah saat anak melanggar kesepakatan yang dibuat

Sebagai orang tua yang sangat lemah dalam kontrol marah, saya memang membuat kesepakatan dengan anak-anak tentang apa saja yang membolehkan saya marah. Seperti contoh kasus di atas. Saya boleh marah jika mereka berantem sudah keterlaluan dan tidak mengindahkan perkataan saya sebelum pada akhirnya  saya marah. 

Kesepakatan 'kapan boleh marah' ini juga  saya berlakukan untuk mereka kepada saya dan suami. Seperti mereka boleh marah jika saya atau suami becanda keterlaluan sedangkan mereka sebelumnya sudah bilang ga mau becanda. 

Jadi marah disini lebih mengarah pada ketegasan sikap bahwa kita benar-benar serius ditengah becanda yang kadang kita suka berlebihan. Maklum, kami sekeluarga doyan becanda dan doyan iseng. Dan kami juga suka bete sendiri kalo becanda dan iseng keterlaluan apalagi jika terjadi di momen yang kurang tepat.

🌷 Marah saat anak melanggar batas-batas permainan fisik

Namanya anak laki-laki, aktivitas fisik sudah bagian dari diri mereka. Sehingga seringkali mereka bermain dan becanda terlewat batas dan secara tidak sengaja kehilangan kontrol kekuatan fisik. Seperti tidak sengaja menendang, memukul, atau mencolok.

Dalam hal ini saya berhak marah sebagai efek jera atas aktivitas fisik (becanda) berlebihan yang mereka lakukan. Dalam hal ini saya mencoba memberikan mereka pemahaman atas sebab akibat dari apa yang mereka lakukan dan apa akibatnya. Maklum, anak kembar ini belum percaya kalo belum mengalami sendiri. Meski udah dibilangin "hati-hati mainnya ga ketendang perut, kepala dan pantat ya". Mereka jawab iya kompak dan tak berapa lama ada yang nangis 😅.

Baca Juga: Ruangan untuk Marah

Dari tiga hal di atas terlihat jelas ya kalau perkembangan ZaZi saat ini memang musingin ala anak TK. Anak TK laki-laki yang terlalu kecil untuk bisa memahami utuh apa yang kita sampaikan, nasehatkan dan maksudkan. Tapi juga terlalu besar untuk dibiarkan dan dimaklumkan.

Saya tidak menafikkan bahwa menjadi orang tua sangat kecil kemungkinannya kita terhindar dari sifat pemarah ini. Yang bisa kita lakukan adalah, meramu sedemikian rupa apa saja yang menjadi tabiat kita sekeluarga terkait sifat marah ini.

Nah, berdasarkan tabiat keluarga saya yang memang 'khas' marah ngomel-ngomel, saya meramu agar marah tak menjadi penyesalan dan anak paham kenapa kita marah.

🌸Berani jujur
Sampaikan sejujurnya jika kita keceplosan marah pada anak padahal bukan mereka penyebab marahnya kita.
🌸Bercerita
Ceritakan kepada anak proses terjadinya marah pada diri kita. Apakah karena rumah berantakan atau karena Abi kurabg perhatin 😆✌.
🌸Diskusikan
Carilah cara terbaik sehingga marah menjadi problem bersama yang harus diselesaikan secara bergotong royong.
🌸Berlapang dada
Terima dengan lapang dada jika salah seorang dari anggota keluarga mengingatkan kita untuk tidak perlu marah untuk hal tertentu.
🌸Berangkulan
Berpelukan dan berangkulan menjadi ramuan penetralisir suasana yang kadung mencekam karena kemarahan yang membara.
🌸Istighfar
Cara terbaru yang sangat mudah diterima Zaid dan Ziad karena mereka sedang on fire tauhidnya. Masha Allah Tabarakallah

Dengan 6 hal di atas akhirnya saya, Zaid dan Ziad sebagai korban penularan genetis marah di keluarga ini, terus menerus saling mengingatkan akan kesungguhan kami untuk mengontrol diri agar tidak marah yang berlebihan apalagi hingga bermain fisik. Sehingga, kalaupun salah satu diantara kami kehilangan kontrol diri, maka 6 ramuan di atas harus segera diminumkan agar emosinya terselesaikan.

Begitulah sedikit cuap-cuap pengalaman soal marah. Saya berharap kami sekeluarga bisa bertumbuh dalam suasana aman damai sentosa tanpa marah 😆😁.

Columbus, 1 April 2019

Post Comment
Posting Komentar

Komenmu sangat berarti bagiku 😆
Makasi ya udah ninggalin komen positif ... 🤗