MOM BLOGGER

A Journal Of Life

Apresiasi yang Terlupa: Guruku

Minggu, 03 April 2016
Punya suami yang dianugrahi otak lebih pintar dari saya (sedikiiiit #sambilgaruk2tembok) sebenernya membuat saya agak (lagi-lagi cuma sedikit) underpressure ... saya yang males kudu rajin biar otak ga makin ketinggalan banyak. Saya yang rada 'oon' sembari mangap harus mingkem dan meningkatkan grade otak ke level 'cerdas' biar ga jomplang ma suami.
Duh gusti .... hikmah saya kuliah di jurusan bahasa inggris itu cuma 1 >> ketemu suami #cieeeeeee.
Kalo saya jadi pindah ke MIPA atau bahasa Indonesia, entahlah siapa yang akan jadi suami saya. Hehehe... dan kalo bukan dia suami saya, ah entahlah, akan seperti apa saya ini. Oh Allah... terima kasih udah baik ke hambaMu ini ... #cintaAllah
Percaya atau tidak, berani jujur itu adalah prinsip hidup saya. Dan semakin terlatih semenjak dia menjadi kekasih hati dengan pesan yang selalu dia sampaikan kepada saya 'be your self honey', begitu katanya lebih kurang lebih (Aslinya sih suami ngomong "jadi diri sendiri aja atuuuuuh :P).
Setelah di khitbah, jujur ada kekhawatiran yang saya rasakan. Kekhawatiran itu bertambah-tambah ketika (calon) suami meminta saya untuk membantunya me-resume beberapa artikel tentang Language&Culture . Artikelnya pake bahasa inggris kabeeeeh .. saya langsung mati berdiri... #skakmat
Saya memang memiliki ketertarikan pada bahasan tersebut. Tapi saya menyadari, sangat-sangat menyadari bahwa calon saya saat itu memiliki kapasitas keilmuan di atas saya dan saya ga PD bila harus diminta membantu dia. Saya khawatir calon suami akan kaget dan kecewa mendapati (calon) istrinya ternyata begini alias 'mengecewakan'. Akhirnya, dengan mengumpulkan energi yang cukup banyak saya jujur menyampaikan riwayat akademis saya ... :(
Dari cerita di atas kebayang kan betapa tertekan nya saya ... hahaha ... kalo ga kebayang, berarti kamu ga punya riwayat akademis menyedihkan kaya saya ... :( saat itu saya berfikir, ya mumpung belum nikah, barangkali dia memang mencari sosok istri yang brilliant jadi belum terlambat untuk mengakhiri ikatan ini (duh sedihnya ... wkwkwkwk).
Dan tau apa jawaban doi saat itu? "Oh gitu, ya ga papa atuh. Kan masih bisa diperbaiki pas S2".
Saat itu saya memang sedang menempuh pendidikan S2 di Depok. Secara pribadi saya melanjutkan S2 karena memang ingin membuktikan kemampuan diri bahwa saya juga bisa memperoleh ilmu dan nilai berimbang. Tidak seperti jaman S1 yang mana saya hanya menyerap apa yang saya suka dan ogah-ogahan sama yang tidak saya suka. Karena memang saya tidak menyukai formalitas seperti nilai dan cimelekete nya. Bagi saya, ilmu itu tak bisa dinilai. Capaian seseorang dalam memahami pun juga tak bisa diliat dari sekedar huruf A atau angka 100. Jika hanya itu patokan capaian seseorang, maka dengan jalan apapun bisa saya peroleh (alias dengan cara curang).
Saya sadar, kita butuh standar nilai agar bisa mengukur capaian pemahaman seseorang. Dan saya tidak menyalahkan sistem itu. Saya hanya butuh kesiapan mental untuk mengahadapi rutinitas akademik yang terkadang berada diluar zona ideal menurut saya. Berdamai dengan birokrasi dan karakter masing-masing dosen itulah yang harus saya miliki.
Duh kenapa jadi serius gini ya bahasannya. Heu ...
Tapi setelah menikah, paradigma saya mulai berubah. Persepsi saya sedikit mulai terarah. Perlahan-lahan saya menyadari, ada yang salah dalam diri saya selama saya menuntut ilmu. Dan yang salah inilah yang tidak pernah dilakukan oleh suami saya. (Inilah mungkin yang membuat suami saya lebih mudah menyerap ilmu sehingga pintar ... aamiin... alhamdulillah).
Khidmat dan hormat ke Guru. Ya, inilah yang salah pada diri saya. Entah sejarah apa yang dulu pernah terukir sehingga saya memiliki paradigma negatif tentang guru. Bahwa guru hanya berceloteh di kelas tanpa memahami kebutuhan saya sebagai siswa, bahwa guru hanya memperhatikan anak-anak yang aktif dan pintar saja, bahwa guru hanya menegur siswa-siswi seleb saja. Sementara saya yang berada dijajaran tengah yang kelelep oleh siswa-siswa kelas atas dan kelas bawah hanya bisa berdiam diri sembari memprosir diri tanpa mampu memahami kebutuhan diri dan kata hati. Hasilnya? Saya gagal memahami apa yang saya kejar dalam menuntut ilmu... parahnya lagi, khidmat dan hormat saya pada guru 0 besar.
Karena itulah meski nilai raport saya tidak jelek-jelek amat tapi saya merasa tidak memiliki kemampuan lebih di salah satu bidang merupakan akibat dari ketidakberkahan ilmu saya. Ya ... mungkin ...
Tidak ada kata terlambat. Silaturahim dengan para guru terus saya jaga ... meski hanya berbentuk tegur sapa tak peduli sang guru masih ingat atau tidak. Dan kehidupan kedepan pun saya masih akan bertemu dengan guru-guru kehidupan yang akan memberikan banyak ilmu. Siapapun mereka ... saya harus selalu ingat bahwa khidmat dan hormat untuk sebuah keberkahan hidup.
Perjalanan baru akan bermula .. bertemu banyak ragam manusia dan mereka semua adalah guru. Semoga hati saya dan kita semua selalu terbuka untuk sebuah ilmu yang mungkin bagi sebagian orang tak bernilai namun sangat bernilai bagi kita ...
Menjelang bulan Mei ... menjelang hari pendidikan .. saya mendadak ingin mengakui sesuatu yang sudah lama tak terungkap .... untuk para guru kehidupan saya .. terima kasih sudah memberi ilmu ... :) selamat hari pendidikan (nanti di bulan Mei ... wkwkwkwk)
Terakhir, semoga otak saya terupgrade otomatis setelah memposting tulisan ini #eaaaaaaaa
NB:
Terinspirasi dari buku 'Fernandes dan Bidadari Tak Bersayap' karya Rasi Yugafiati ....
Maaf ya suami ... padahal udah sangat sering dinasehati dan diberi tauladan langsung sama suami... dasar saya nya yang bebal ... hiks
Payakumbuh, 4 April 2016
Post Comment
Posting Komentar

Komenmu sangat berarti bagiku 😆
Makasi ya udah ninggalin komen positif ... 🤗