MOM BLOGGER

A Journal Of Life

Ekspektasi

Selasa, 24 November 2015

Hai, apa yang menjadi topik utama kamu saat malam pertama? Hehehe. Seperti yang kita tau. Malam pertama bagi pengantin baru merupakan malam dimana kita dan pasangan saling mengenal lebih dekat. Ada kekakuan. Ada kecanggungan. Ada keringat dingin. Kikuk dan nervous. Salah tingkah bahkan merasa aneh karena sekarang sekamar dengan makhluk asing #eh.

Nah, saya jadi teringat moment perbincangan saya dengan suami saat malam pertama resmi menjadi suami dan istri. Entah siapa yang memulai perbincangan, dan pada akhirnya kami memperbincangkan perihal ekspektasi. Ya, ekspektasi masing-masing kami terhadap satu sama lain.
Wah, saat itu, seingat saya, ekspektasi disampaikan dengan bahasa yang dikemas sedemikian rupa sehingga terkesan bukan ekspektasi melainkan sebuah harap tentang kehidupan kedepan akan hidup dengan pasangan seperti apakah kami. #hadeh panjang beneeeeer.

Kala itu... (berasa mendongeng...) saya menyampaikan ekspektasi saya. Bahwa saya menginginkan suami yang bisa menjadi imam saya sepenuhnya. Sepenuhnya alias ga sepotong-sepotong. Hehehe. Maksudnya, saya secara tersirat ingin menyampaikan bahwa saya orangnya gimana orang yang paling berpengaruh... :D So, jadilah orang yang paling berpengaruh baik dalam kehidupan saya kedepan, selamanya. (Duh maaf ya ga detail, terlalu general. Hahaha... sengaja sih. Biar bingung :P )
Nah, sang suami pun menyampaikan ekspekatsinya. Jujur saya tidak ingat semua, hanya saja yang paling saya ingat, suami sangat berharap saya yang sudah menjadi istrinya bisa menerima aktivitas nya dengan segenap kesibukannya. Dan saya juga siap untuk hidup dengan tak selalu berada disamping suami.

Hmmmmm ... apa itu maksudnya. Hahahaha... curiga ini bakal ditinggal-tinggal. (Padahal waktu itu saya tau sih memang bakal ditinggal belajar selama +- 2 tahun :D ).

Seiring berjalannya waktu, tak bisa direkayasa, hidup sebagai sepasang suami istri merupakan hidup yang tak bisa dibuat-buat bahkan sekedar untuk memenuhi ekspektasi pasangan kita. Dan saya mulai menyadari, ada ekspektasi yang tak terpenuhi. Baik ekspektasi saya maupun suami. Dan hal inilah sedikit banyaknya yang menjadi pemicu 'kengambekan' saya. (Kengambekan means pertengkaran kecil .. hehehe ). Sebagai manusia normal, saya tentunya tidak mau terus-terusan hidup ngambek terus. Dan inilah mungkin yang dinamakan proses. Proses pendewasaan. Saya mulai berhenti berekspektasi berlebih. Saya mulai berdamai dengan janji yang yang coba dibuat suami dan mengatakan padanya untuk tidak perlu lagi berjanji demi bahagiaku di masa depan.

Perlahan saya mulai menyadari, bahwa janji bukanlah hal yang mendatangkan bahagia. Karena janji ketika tak ditepati hanya menghasilkan luka. Dan saya akhirnya memilih untuk berdamai dengan janji. Mencoba memperkecil ekspektasi. Dan memang, ketika realita yang terjadi melebihi ekspektasi, maka kebahagiaan akan tercipta dengan sendirinya. Saya yakin kamu pernah merasakan hal yang sama dengan saya.,, :)

Ada yang mau berbagi ceritanya tentang kebahagiaan dengan tak terlalu berekspektasi tinggi?  Share yuk ceritanya... :)

Post Comment
Posting Komentar

Komenmu sangat berarti bagiku 😆
Makasi ya udah ninggalin komen positif ... 🤗