MOM BLOGGER

A Journal Of Life

Biar Tak Ada Luka

Selasa, 29 Desember 2015

'Lidah tak bertulang'

Begitulah istilah yang mungkin sangat sering kita dengar. Dan menurut saya, istilah tersebut memiliki makna betapa mudahnya kata terlontar dari sebuah mulut. Begitu lebih kurang yang saya pahami.

Pernah menjadi anak dan saat ini telah menjadi orang tua, membuat saya sedikit banyaknya menjadikan pembanding pengalaman hidup yang telah saya lewati dengan pengalaman hidup anak-anak yang akan saya ukir nanti. Tentunya semua terjadi karena ada rasa tidak ingin melakukan keteledoran yang sama dengan apa yang mungkin dulu pernah dilakukan oleh orang tua kita. Keteledoran seperti apa? Salah satunya keteledoran dalam bersikap dan berucap.

Mungkin sudah sangat sering kita baca dan temui bahwa dalam membesarkan dan mendidik anak, hal pertama yang harus kita sadari adalah bahwa anak merupakan manusia, sama seperti kita. Ketika kita memiliki hal yang tidak disenangi, anak pun demikian. Ketika kita menyenangi sesuatu, maka anak pun memiliki kesenangan terhadap sesuatu hal.

Suka/senang atau tidak suka/senang ini, biasanya bisa terlihat ketika seorang ibu sedang berselisih paham dengan anaknya. Poin utamanya bukan soal perbedaan pemahamannya. Namun alur yang tercipta dalam ritme ceritanya. Dan setiap individu ibu dan anak memiliki cara yang berbeda di masing-masing keluarga. Ada ibu yang memilih jalan diam ketika berselisih pendapat dengan anaknya. Ada anak yang keras kepala dalam menanggapi pendapat orang tuanya. Macam-macam. Dan saya sangat meyakini bahwa setiap keluarga mempunyai karakteristik komunikasi masing-masing.

Karakteristik komunikasi inilah yang seringnya tidak disadari oleh seluruh anggota keluarga. Misal seperti keluarga saya. Ada sebuah kebiasaan adu argumen yang cukup alot dan berlangsung panas ketika terjadi perbedaan pendapat. Sementara di keluarga suami saya perbedaan pendapat di tanggapi dengan santai tanpa kealotan. Dan pola dari keluarga saya dan suami ini masing-masing menjadi karakteristik. Jika disederhanakan, keluarga saya karakter keras, keluarga suami karakter lunak.

Entah saya saja yang berfikir tentang hal ini. Bagi saya, sangat penting menyadari pola komunikasi dan karakteristik keluarga kita masing-masing. Kenapa? Agar ketika terjadi sebuah situasi dimana terdapat permasalahan yang cukup runyam, kita, masing-masing anggota keluarga bisa menyikapi tanpa harus berlebihan dan fokus pada solusi. Bukan malah adu argumen atau malah merasa pendapat tidak diakomodir.

Ngomong-ngomong soal pola dan karakteristik komunikasi, tampaknya bagi kita yang masih berstatus orang tua muda bisa memulai dari sekarang dalam menciptakan pola dan karakteristik komunikasi keluarga kita. Misal, pola seperti apa yang akan kita terapkan ketika anak-anak menunjukan sikap yang kurang baik. Atau pola komunikasi seperti apa yang akan kita perkenalkan kepada anak-anak ketika anak-anak dihadapkan dalam sebuah pilihan. Termasuk pola-pola lain terkait komunikasi, baik komunikasi verbal ataupun non verbal.

Dalam keseharian, hal yang biasa terjadi adalah, ibu mengambil peranan sebagai 'toa' buat anak-anak. Dan ayah sebagai pemegang toa nya. Maksudnya. Ibu yang memiliki suara yang lebih nyaring, sedangkan ayah cukup sebagai pengomando saja. Ketika kita memilih sebagai toa, disinilah kita harus berhati-hati. Bagaimana suara yang kita hasilkan jangan sampai menggoreskan luka di hati anak-anak kita. Luka yang seperti apa? Seperti menghujat, menghakimi atau pun memberi tekanan berupa perbandingan-perbandingan. Karena balik lagi seperti yang saya sampaikan di atas. Anak adalah manusia seperti kita. Ketika kita tidak menyukai dihujat, makan demikian puka dengan anak.

Jika memang tak sanggup menjadi orang tua, cukuplah doa sebagai kekuatan utama. Hingga diam dalam cinta menjadi pilihan kita, biar tak ada luka.

1 komentar on "Biar Tak Ada Luka"

Komenmu sangat berarti bagiku 😆
Makasi ya udah ninggalin komen positif ... 🤗