MOM BLOGGER

A Journal Of Life

Surga Yang Tak Dirindukan

Selasa, 28 Juli 2015

Apa yang teman-teman pahami ketika membaca judul di atas? Sepertinya bermacam-macam interpretasi ya. Tentunya perlu membaca kelanjutan tulisan atas judul di atas atau mungkin menontonnya. Iya. Judul di atas memang saya ambil dari judul novel karya Asma Nadia yang sudah di film kan dan sepertinya jadi trending topic.

Tapi dalam tulisan ini saya tidak akan memberikan review terhadap novel atau pun filmnya. Karena saya sendiri belum membaca dan menontonnya. Ketertarikan saya memang pada judul nya 'Surga Yang Tak Dirindukan'.
Ada banyak memang jalan ke surga. Tinggal pilih saja hendak menuju surga yang mana dan tingkat berapa serta melalui jalan apa. Salah satunya melalui Poligami.

Jalan ke Surga dengan Poligami
Dari awal menikah, poligami sudah menjadi bahan diskusi saya dengan suami. Saya memang tidak ingat persisnya diskusi kami seperti apa, yang pasti suami meminta pandangan saya mengenai poligami. Jawaban saya saat itu, saya membolehkan poligami karena saya memgetahui bahwa poligami masuk ke dalam syariat Islam. Namun saya tidak menjadikan suami sebagai subjek pelaku melainkan sebagai lawan diskusi saja. Artinya, secara tidak langsung saya belum rela atau belum merelakan andai suami berpoligami. (Diskusi yang menyesakkan sebenarnya untuk sebuah keluarga baru kala itu yang belum berumur 1 bulan).

Seiring berjalannya kehidupan rumah tangga kami, diskusi-diskusi kecil sering terjadi hingga sampai pada satu waktu dimana saya mengetahui salah seorang kakak saya di kampus memilih menjadi objek dari pelaku poligami. Yups. Beliau (yakin memutuskan belajar) ikhlas menjadi wanita kedua dari seorang lelaki beranak 3. Apa yang saya dapatkan dari kisahnya bukanlah sebuah hal yang membuat saya pada akhirnya anti poligami  melainkan menjadikan saya merasa malu ketika memandang hidup dan kehidupan adalah fase yang saya tentukan sendiri. Padahal sama sekali tidak! Hidup dan kehidupan kita Allah lah yang menentukannya. Begitulah kata kakak saya tersebut.

Saya kemudian merenung. Dan terkadang tafakur saya hanya mampu menjadi air mata. Semua bekal ilmu yang saya peroleh tentang Tauhid seperti mengambang di otak dan kemudian membuat saya tertohok sendiri ketika muncul sebuah pertanyaan yang muncul dihati saya yang tengah berandai jika Allah yang bertanya "Jika surga Aku berikan dengan Poligaminya suamimu, bersediakah kamu?".

Sedikit Bernostalgia
Dulu jaman sekolah menengah, saya sangat senang memperoleh ilmu tentang Cinta kepada Allah. Materi sederhana. Apapun yang kita lakukan, lakukanlah karena semata Cinta kepada Allah. Itu yang saya tangkap. Sehingga tidak ada alasan melakukan pacaran dengan dasar cinta kepada Allah karena pacaran itu hal yang banyak mudharatnya. Sementara Allah tidak menginginkan hal yang demikian. Semakin bertambah usia, sampai akhirnya saya menjadi mahasiswa, konsep cinta yang menjadi perhatian saya tentang mencintai suami tidak melebihi cinta kepada Allah. Lagi-lagi saya menganggap hal ini sederhana dan mudah untuk dilaksanakan. Karena saya berfikir, nanti yang jadi suami saya kan orang asing, ya ga akan juga saya cinta melebihi cinta pada Allah. Toh ke orang tua saja saya masih bisa proporsional, dulu begitu.

Lalu sekarang???
Setelah memiliki pasangan semua kesederhanaan pemahaman saya menjelma menjadi sebuah praktek yang sulit. Bahkan untuk sekedar berhati-hati agar tidak terjerumus pada kelebihan cinta tadi saya merasakan perjuangan yang hebat. Contoh kecilnya saja ketika hendak menyiapkan makan malam. Dengan sekelumit kerempongan dengan anak-anak tak jarang makan malam baru akan dimasak mepet waktu maghrib. Saya sering memilih menyelesaikan memasak baru kemudian shalat maghrib dengan berbagai macam pertimbangan. Rasa-rasanya dulu jaman gadis, saya sangat mengupayakan agar shalat tepat waktu. Lalu setelah menikah sedikit demi sedikit nilai-nilai yang dulu saya jaga mengalami degradasi. Kesalahan bukan pada  siapa-siapa melainkan karena kelemahan saya. Dan hal inilah yang menjadikan saya semakin merasa tidak pantas harus berdiskusi perihal poligami, dimana amalan poligami ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang berjuang menyempurnakan cintanya pada Allah. Sedangkan saya? Masih banyak belajar dalam manajemen hati agar tak lagi menduakan Allah. (Konsep ini rada kacau karena begitu menyesakkannya membahas pologami ini. Terlebih dalam kondisi merasa berdosa terus menerus mengikuti saya, merasa belum mampu menjadi hamba Allah yang seharusnya)

Kontroversi Yang Tak Diperlukan
Manusia sekian banyak, sekian banyak pula pemikirannya. Termasuk perihal poligami. Dari dulu hingga sekarang menjadi kontroversi yang tak berkesudahan. Mulai dari kaum perempuan sampai laki-laki, diatur oleh agama sampai pemerintah, kontroversinya berlarut-larut. Kalau sudah begini, kembalikan pada pembuat hukumnya yang paling hakiki. Tapi lagi-lagi tak semua manusia paham bahwa poligami ini sudah diatur syariat. (Untuk pembahasan secara syariatnya, silahkan cari referensinyanya, saya ga berkafaah membahas hal ini).
Wajar saja kontrobersi, lha kita nya berpendapat berlandaskan pendapat pribadi. Hahaha

Surga itu Tak Dirindukan?
Ketika poligami menjadi jalan menuju surga, lalu apakah kamu bersedia? Pastinya banyak yang menjawab dengan ketidakyakinan. Atau bisa jadi ngeles 'masih banyak cara lain menuju surga'.

Tulisan ini muncul bukan sebagai wujud diskusi tentang setuju atau tidaknya kita tentang poligami. Tulisan ini muncul sekedar berbagi pemikiran bahwa menuju surga sangatlah mudah. Namun untuk menjadi istiqomah dengan amalan andalan kita menuju ke surga itulah yang sulit. Menentukan amalan andalan pun terkait dengan surga mana yang hendak kita capai. Karena surga itu ada tingkatannya. Lalu bagaimana??? Bagi saya, jalani saja hidup yang sudah ditaldirkan Allah untukmu. Sudah cukup!

Artinya, ketika dikaitkan dengan poligami sebagai jalan menunu surga, kita ditakdirkan menjadi objek dari pelaku poligami, (konteks poligami yang sesuai syariat ya, bukan poligami ala-ala) maka tindakan selanjutnya yang harus kita lakukan adalah belajar ikhlas dan mengembalikan niat dalam menjalani hidup Lillahi ta'ala. Berdoa, semoga akhir hayat kita khusnul khatimah.

Saya rasa hal di atas sudah cukup. Tidak perlu lagi panjang lebar membahas tentang poligami dan kemudian embel-embel wonder women dan seolah paling menderita ketika dipoligami. Atau pembahasan poligami yang dipandang sebagai pelecehan kepada kaum wanita. Dan hal lainnya, dengan segenap pembenaran terhadap pendapat pribadi masing-masing berdasarkan pengalaman sendiri ataupun orang terdekat. Jika demikian, ini hanya masalah sudut pandang dan cara penyikapan. Itulah yang harus kita perbaiki. Jika sudah diperbaiki, yakinlah masih banyak cara menciptakan bahagia yang lain ketika takdir hidup tak lagi dipandang normal oleh manusia karena tak lagi berkeluarga dengan istri 1 melainkan lebih. Tidak perlu dipikirkan, karena hidup kita hanya perlombaan memperoleh cinta Allah, meski dipandang tak lagi normal oleh manusia, selama Allah ridho, maka disitulah kenormalannya.

Jangan bilang tak merindukan 'Surga yang ini'. Karena kedepan kita tak tahu jalan surga mana yang dibukakan Allah untuk kita. Jadi, atas nama surgaNya, demi Allah, rindukanlah surga apapun caranya. Meski kemudian takdir berkata kita lah yang menjadi objek nya.

Wallahua'lam.

Bandung, 20 Juli 2015

Post Comment
Posting Komentar

Komenmu sangat berarti bagiku 😆
Makasi ya udah ninggalin komen positif ... 🤗