MOM BLOGGER

A Journal Of Life

UI (unforgettable moment)

Jumat, 31 Juli 2015

Rasanya baru kemaren saya berangkat subuh-subuh untuk mengikuti tes masuk pasca sarjana salah satu kampus idaman saya, Universitas Indonesia. Dengan bekal ilmu seadanya namun percaya diri luar biasa, saya berangkat diantar seorang adik yang sangat baik, Hesty Ambarwati namanya. Kami berangkat kalo tidak salah pukul 6 pagi. Dengan bekal makanan seadanya dan sebotol air mineral. Ini tes yang paling saya nikmati. Tanpa beban, dan penuh semangat pembuktian. Pembuktian bahwa saya tidak sedang galau. Dan alhamdulillah saya lulus. Eh kok bisa? Ya iyalah... lha wong saya ambil jurusan langka di Fakultas Ilmu Budaya, yaitu cultural studies.
Awal september tahun 2012 merupakan awal yang sangat membahagiakan sekaligus membanggakan dalam hidup saya. Dengan antusiasme yang tinggi, saya ke kampus berangkat subuh berhubung saat itu saya berangkat dari rumah kakak yang berada di bekasi. Meskipun nyubuh, saya tetap telat. Menjadi orang paling akhir datang, tapi tak sedikit pun saya merasa canggung. Padahal tak satupun rekan sekelas yang saya kenal saat itu. Dan perasaan ini sangat bertolak belakang dengan perasaan saya ketika awal memasuki kelas jaman S1 dulu.

UI oh UI ... tetiba saya mengenal sosok Sapardi beserta puisinya yang amat romantis menurut saya. Kemudian saya tiba-tiba merasa dekat dengan Dian Satro padahal tidak pernah bertemu sama sekali. Dan yang paling penting, saya lebih memperoleh penghargaan dan perhatian dari rekan sekelas ketimbang dimasa-masa awal S1 dulu. Seketika semangat belajar pun tumbuh membara, tak kenal betapa terbatasnya otak ini mencerna apa yang termaktub dalam setiap materi kuliahnya. Satu hal, saya bersemangat!!!

Asrama yang Menyejarah
Seminggu berangkat dari Bekasi rasanya gempor juga. Setelah cari informasi sana sini dan melengkapi semua syarat administrasinya, akhirnya saya resmi dapat kunci kamar asrama UI. Oh bahagianya...

Tetap dengan semangat 45 saya dibantu (lagi-lagi) seorang adik yang sangat baik bernama Anissa Tridyanti, kami membeli segenap kelengkapan kamar. Berbekal ngangkot, akhirnya kami berhasil membawa pulang dari setrikaan sampai ke tiker. Oh nikmatnya masa-masa itu. Entah semangat apa yang sedang membakar jiwa saya saat itu. Tiba-tiba kamar saya di Asrama sudah layak huni dan bisa ditempati.

100 Hari di UI
Hari-hari saya lalui sebagaimana hal nya mahasiswa. Sebulan pertama, bulan kedua, dan bulan ketiga. Rutinitas kampus, asrama dan perpustakaan sesekali diselingi kantin kampus sambil bercengkrama dengan teman2 saya yang dahsyat, tak terasa perkuliahan hendak memasuki ujian akhir semester. Memang sebagian besar mata kuliah tidak melaksanakan ujian akhir secara tertulis di waktu sesuai jadwal. Melainkan sudah include bersama tugas-tugas mini paper kami sepanjang masa kuliah. Dan disaat yang bersamaan, saya pun harus dihadapkan dengan sebuah pilihan yang cukup sulit. Sehingga cukup membuyarkan konsentrasi dan semangat saya berkuliah.

Sebagai mahasiswa penerima beasiswa dari yayasan Ayah dan Bunda alias biaya pribadi, biaya S2 tentunya sangatlah besar. Sehingga saya mengambil sistem pembayaran bertahap, yaitu 3 tahap. Tahap pertama 8 juta (DP), tahap kedua dan ketiga masing-masing 4 juta (uang semester). Ketika hendak membayar tahap ketiga, dana bisa dikatakan tidak ada. Kondisi saat itu membuat saya harus memilih, bayar sekarang atau nanti dengan konsekuensi denda 10%. Dengan pergolakan yang tidak mungkin saya ceritakan disini, akhirnya saya mengulur pembayaran yang harusnya jatuh pada bulan November menjadi Desember.

Hidup memang harus Memilih
Dua status yang saya sandang saya pikir bisa berjalan berdampingan. Ternyata tidak. Status sebagai mahasiswa dan calon istri dari Taufik Mulyadin membuat saya harus memilih salah satu status tersebut. Mau status mahasiswa atau status resmi sebagai istri. Saat itu saya berfikir menjadi istri adalah keharusan, sedangkan menjadi mahasiswa hanyalah sampingan. Pilihan seperti ini hadir bukan karena calon saya saat itu tidak mengizinkan saya untuk bersekolah, melainkan karena situasi dan kondisilah yang membuat saya harus bersabar terlebih dahulu untuk memperoleh gelar master jika hendak memiliki kehidupan rumah tangga yang sesungguhnya.
Andai mementingkan ego, saya akan memilih tetap berkuliah dengan konsekuensi hubungan jarak jauh. Tapi entah mengapa dalam pandangan saya, mengawali pernikahan dengan hubungan jarak jauh itu bukanlah hal terbaik buat saya saat itu. Karena jika saya memilih hal tersebut, maka hubungan jarak jauh saya dan suami akan menjadi hubungan jarak jauh yang sangat jauh dan lama dan tidak bisa saling kunjung mengunjungi. Sungguh saya tidak mau mengawali rumah tangga saya dengan hal ini. Bismillah ,., saya ambil keputusan untuk La haula walakuwata ... saya Off kuliah di UI. Sehingga hanya sekitar 100 hari lebih saya di UI.

Penuh Kenangan
Di kampus Bung Karno ini secuil kehidupan saya tertoreh. Paling tidak saya bertemu dengan orang-orang hebat. Mulai dari dosennya... sampai teman-teman sekelas. Berkegiatan dengan kalian yang sungguh unik-unik. Kemudian menghuni sekotakan kamar penuh kenangan tanpa teman se asrama melainkan hanya teman yang datang berkunjung dan menginap. Mengenal sedikit tentang Depok dan Jakarta dengan busway nya. Commuter line yang telah menghubungkan saya dengan seorang sahabat di Bogor sana, Devi Fuzi azhari. Berkejaran dengan mahasiswa lain demi bus kampus yang selalu padat di pagi hari. Ah sungguh kenangan sesaat yang akan selalu saya ingat. Betapa indahnya menjadi bagian dari kampus ini. Beraneka macam jenis manusia ada disini. Tapi satu semangat yang pasti, semangat belajar.
Ah saya rindu ... rindu dengan pembuatan video dijalanan depan asrama bersama 2 krucil hesty dan flo untuk hari pernikahan saya. Rindu hubungan jarak jauh saya dengan kalian berdua ... yang selalu setia berkunjung meramaikan hari-hari saya di Asrama. Makan dikantin asrama yang rasa makanannya membuat saya semakin kurus kala itu. Kangen dengan penduduk asrama yang sampai detik saya tinggalkan belum satu pun person yang saya kenal akrab.. hahaha..kangenlah pokonya dengan semua hal yang pernah terjadi di kampus ini.

Entahlah kapan saya bisa disini kembali. Saya tak mau berharap lebih. Ilmu bisa dicari dimana saja. Yang pasti,,, terima kasih untuk kampus kuning ini yang telah menularkan semangat belajarnya pada saya yang sangat tidak percaya diri ini. Terima kasih. Terima kasih untuk teman-teman cultural studies yang hanya 8 biji. Kalian itu penuh semangat. Dan terbukti dari akhir perkuliahan kalian yang membuatku sangat iri. Terima kasih untuk babeh Yahya Andi saputra and the genk yang membuat saya merasa dispesialkan padahal sepertinya dimanfaatkan.. :P terima kasih atas traktiran dan diskusinya. Terima kasih. Terima kasih untuk para dosen terutama prof. Melani dan pak manneke. Nama 2 dosen ini sangat akrab di kepala entah kenapa.
Memang ucapan terima kasih ini tidak begitu penting. Tulisan ini hanyalah sebagian dari ungkapan perasaan saya terhadap kampus ini yang telah memberi kenangan indah dalam hidup saya.

Bandung, 30 Juli 2015

Post Comment
Posting Komentar

Komenmu sangat berarti bagiku 😆
Makasi ya udah ninggalin komen positif ... 🤗