MOM BLOGGER

A Journal Of Life

Jurnal Ramadan: Komunikasi dan Interaksi

Kamis, 30 April 2020
Meskipun kembar, Zaid dan Ziad memiliki katakter yang berbeda. Mereka pun memiliki kecenderungan yang berbeda terkait selera, gaya, ataupun cara belajar. Dan tentunya hal ini sangat amat menantang untuk saya dan dan suami.


Sebagai orang tua yang percaya bahwa mengenal anak dengan tetap menjaga interaksi dan komunikasi dengan mereka, membuat saya cukup evaluasi banyak hal. Seperti halnya menjaga komunikasi, terkadang cara yang saya lakukan sama sedangkan anaknya kan beda karakter. Maka tak jarang saya dibuat pusing ketika mendapati pola komunikasi yang saya bentuk dialamatkan ke anak yang salah.

Ujung-ujungnya saya malah jadi yang curhat ke mereka. 

"Umi tu udah mulai tua. Suka lupa kamu tu Zaid atau Ziad."

Dan akhirnya mereka antara sedih Uminya menua dan juga ngeledek 😂.

Belajar Dari Anak
Pada hakikatnya, anak sudah mengajarkan banyak hal kepada kita para orang tua. Bahwa komunikasi adalah inti dari sebuah interaksi. Memiliki interaksi belum tentu terjalin komunikasi. Namun jika kita berkomunikasi, sudah pasti terjadi interaksi.

Disadari atau tidak, berdasarkan pengalaman saya, jika komunikasi saya dan anak-anak lancar, maka biasanya seluruh agenda keluarga bisa berjalan dengan lancar. Lancar dalam artian tidak terjadi drama tangisan, ambekan, atau bahkan kemarahan. Jikapun terjadi salah paham, biasanya akan cepat terselesaikan karena komunikasi sudah berjalan lancar. Atau bisa dibilang satu frekuensi.

Dari hal inilah saya melihat bahwa sesungguhnya kerewelan anak itu adalah pelajaran buat kita orang tua. Tidak akan ada anak yang rewel tanpa sebab. Sehingga kita kita orang tua yang berposisi sebagai manusia dewasa yang bisa berfikir kompleks, seharusnya bisa melihat letak kesalahannya dimana. Itulah yang saya maksud belajar dari anak.

Penyebab Gagal Komunikasi
Barangkali setiap keluarga akan menemukan faktor yang berbeda kenapa sebuah komunikasi dengan anak bisa gagal. Dalam keluarga saya, biasanya komunikasi gagal yang ditandai dengan tidak kooperatifnya anak, hyperacting, dan cari perhatian terjadi karena:

1. Timing
Komunikasi yang dilakukan disaat yang tidak tepat, seperti ketika anak sudah memperlihatkan sikap kurang kooperatif, atau disaat anak kecewa. Atau bisa juga disaat anak sangat lapar atau mengantuk. Saya biasa menyembutnya dengan sounding atau penyamaan persepsi agar anak siap menjalani hari.

Meski saat ini aktivitas kita hanya di rumah saja selama pandemi Covid-19, sounding tetap perlu dilakukan. Terlebih untuk saya yang memiliki kondisi unpredictable dengan bayi yang masih memiliki jam tidur yang butuh dikeloni. Sedangkan ZaZi sudah memiliki jam tidur layaknya orang dewasa. 


2. Gengsi
Kurang terbuka terhadap apa yang menjadi kesalahan atau kelemahan kita sebagai orang tua menurut saya juga bisa menjadi faktor penyebab komunikasi gagal. Misal, karena kita kurang mampu mengatur waktu karena keasikan main HP, sehingga keteteran semua agenda. Termasuk agenda mendampingi anak. Ketika pendampingan kurang (at least 2 jam dalam sehari kita luangkan waktu untuk membersamai anak), anak-anak tentu akan mencoba mencari perhatian. Sehingga mereka bisa overacting dengan aneka tingkah seperti berantem, becanda berlebihan, membuat kerusakan, atau dengan cara lain.

Sebagai orang tua, biasanya rasa gengsi akan muncul terlebih ketika harus meminta maaf untuk sesuatu yang bukanlah menjadi penyebab langsung chaos nya anak-anak. Namun dari pengalaman saya, terbuka dan juga membuka ruang diskusi serta memancing logika berfikir mereka terhadap chaos yang mereka buat, mampu menjadi jalan untuk membentuk karakter bertanggungjawab bagi anak. 

Karena dengan keterbukaan tanpa rasa gengsi, anak bisa melihat bahwa ketika kita ingin hari-hari kita lancar, maka aturlah dengan baik. Jika tidak, maka banyak hal tidak sesuai keinginan akan terjadi, seperti halnya anak yang berantem.

Nah itu contoh dari pengalaman saya.

Tidak masalah anak menyalahkan saya terhadap apa yang terjadi pada mereka. Justru hal ini baik, agar kita tidak melakukan kesalahan dan kelalaian yang sama. Sehingga kontrol keluarga bisa dilaksanakan dari kedua belah pihak, dari pihak anak dan juga dari pihak orang tua. Karena bagi saya, hakikatnya saat ini saya mendidik anak untuk memperisiapkan mereka menyambut usia matang mereka, yaitu usia aqil baligh.

Interaksi Berkualitas
Banyak hal yang bisa kita lakukan agar memiliki interaksi dengan anak. Namun untuk menciptakan interaksi yang berkualitas, tentu butuh kelihaian kita melihat. Kualitas seperti apa yang ingin kita ciptakan.

Saya pribadi melihat sebuah interaksi berkualitas apabila ada keterlibatan seluruh anggota keluarga, tidak hanya secara fisik, tapi juga hati dan pikiran. Dan tentunya hal ini bisa kita ciptakan dengan komunikasi. Bisa saja kita berinteraksi di meja makan. Saling menolong meletakkan posisi lauk yang susah dijangkau salah seorang anggota keluarga. Namun dalam interaksi itu, bisa saja pikiran di setiap anggota keluarga berbeda-beda. Sehingga untuk menyatukannya, perlu dikomunikasikan dengan cara memancing pertanyaan, melempar topik atau sekedar membuka dengan guyonan.

Tujuan Komunikasi dan Interaksi Berkualitas
Bagi saya pribadi tujuan menjalin komunikasi dan interaksi berkualitas itu hanya satu, yaitu harmonisasi. Mengingat kita manusia memiliki pikiran, karakter dan juga ketertarikan yang berbeda, maka harmonisasi keluarga dengan alat bantu komunikasi dalam sebuah interaksi adalah kunci. Jika harmonisasi bisa dibina, maka keluarga akan minim konflik. Saling pengertian akan terjadi. 

Batujajar, 30 April 2020
Post Comment
Posting Komentar

Komenmu sangat berarti bagiku 😆
Makasi ya udah ninggalin komen positif ... 🤗