MOM BLOGGER

A Journal Of Life

Wanita Butuh Kuota atau Bicara???

Jumat, 13 Januari 2017

Tergelitik sama bahasan sepintas ala emak-emak dari salah satu grup WA yang saya ikuti. Tatkala saya hampa tanpa bicara, seorang teman hampa tanpa kuota. Begitulah wanita. Butuh aktualisasi diri berupa kata, lisan ataupun tulisan.

Di jaman sekarang, 'rumpi' tak lagi harus nyamper ke rumah tetangga. Cukup pastikan kuota ada, percakapan pun bisa tercipta. #eitdah kalimatku ber-rima gini.

Tapiiiiii ... saya ternyata tetap merasa hampa meski kuota di tanggung gratis juga (maksa biar rima nya terjaga #lol). Kebutuhan untuk bicara hingga 20 ribu per kata tetap menuntut jiwa. Meski menulis di blog salah satu cara memfasilitasi kebutuhan bicara saya, tetep aja, saya butuh bicara alias diskusi atau ngobrol ringan dengan manusia nyata, face to face. Bukan screen to screen.

Jauuuuuuuuh sebelum saya membaca teori 20rb kata per hari yang butuh dikeluarkan wanita untuk menjaga stabilitas emosi nya ini (saya ga tau ini teori bener apa ga ya), saya memang sudah sangat sadar bahwa saya butuh menyalurkan kata alias bertemu dan bercerita dengan orang sekitar. Meski hanya sekedar bicara soal masak apa hari ini, anak-anak gimana atau sekedar perkenalan lanjutan dengan para tetangga. Nah sayangnya, jaman dimana screen lebih berharga dari face (ini bukan judgement ya ... biar keren aja gitu face vs screen :P ) sangat sulit rasanya saya bisa memenuhi kebutuhan saya yang satu ini. Selain khawatir rumpi, saya juga khawatir keceriwisan saya kurang berterima di beberapa orang yang mungkin tidak merasakan kebutuhan seperti saya ini. Sehingga mau tidak mau, saat ini saya sudah cukup bersyukur bisa bicara hanya lewat pemenuhan kuota internet yang kebetulan dapet gratis include sama biaya apartment (curhat) alias media sosial yang ada.

Berbicara soal pemenuhan kata ... entah itu hanya wanita atau pria pun juga, yang pasti ada sebuah keinginan dimana saya merindukan bertetangga seperti halnya dulu orang tua saya bertetangga. Ada tegur sapa di kala sore merona. Melepas penat bersama tetangga, sekedar makan baso atau sate yang lewat di depan rumah kita. Konflik tetap ada, namun selesai dengan sendirinya, bergantung kadar bijaksana nya kita. Anak-anak pun ikut berkumpul, bermain dalam gelak tawa dan sesekali terdengar tangisan memekakan telinga (ini saya jadi kebawa2 maksain ber-rima terus ini teh). Penuh aktivitas fisik. Menambah manfaat untuk perkembangan anak yang memang butuh aktivitas fisik sebagai penyaluran energi. Ah... saya benar-benar rindu suasana di komplek kala itu.

Mendapati takdir hidup di negara orang, saya hanya mampu berdamai, dan mencoba menciptakan suasana serupa untuk anak-anak. Meski hanya sekali atau 2 kali dalam 1 bulan. Dalam acara berlabel pengajian 2 mingguan. Dimana semua orang Indonesia datang (yang di OSU aja sih) ... berkumpul dan kebutuhan saya untuk mengeluarkan kata pun tersalurkan. Anak-anak pun beraktivitas sosial meski tak sebebas kala saya kecil. Terbatas ruang. Terbatas kuantitas juga. Dan juga terbatas kebiasaan ngagadget dikala kumpul (ini PR saya yang lain). Tapi tak mengapa. Paling tidak masih ada secuil kebiasaan positif yang masih saya rasakan hadir disini, dimana kaki tak lagi berada di negara sendiri. Pun di negara sendiri, saya sanksi apakah kebiasaan positif seperti ini masih bisa tercipta atau hanya tinggal nama?

Saya berharap, dimana pun saya berada, penyaluran kata dengan lebih menghargai pertemuan face to face ketimbang screen to screen tetap ada. Secanggih apapun tekonologi kita. Karena interaksi sosial langsung itu lebih aduhai kerasa ketimbang pake perantara (red: teknologi).

Semoga... semoga...

Columbus, 12 Januari 2013

Post Comment
Posting Komentar

Komenmu sangat berarti bagiku 😆
Makasi ya udah ninggalin komen positif ... 🤗